REFORMASI PENDIDIKAN YANG TERHAMBAT

on 03.10

Oleh Utomo Dananjaya
Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta

Reformasi bidang pendidikan -yang melahirkan amandemen UUD pasal 31 dan penyusunan UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru- adalah penyesuaian yang tertunda yang dijanjikan pada 1945. Analisis akhir tahun bidang pendidikan ditulis Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta, Utomo Dananjaya .

Perubahan pertama adalah penjelasan makna pemenuhan hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, dengan wajib belajar bagi warga negara dan negara wajib membiayai. Semangat 45 mengacu pada semangat universal pendidikan untuk semua. Di sisi lain, amandemen merupakan koreksi pada pemerintah dan negara yang telah melalaikan tanggung jawab membiayai wajib belajar dan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.

Hanya fungsi pendidikan yang mendapat pengarusutamaan dengan negara memprioritaskan anggaran pendidikan, bukan keamanan pertahanan, bukan perekonomian nasional, dan bukan sosial kesejahteraan atau pemberantasan kemiskinan. Walau keputusan amandemen tentang biaya tersebut diambil melalui voting, setelah menjadi keputusan, jadilah ia pedoman penyelenggaraan bernegara dalam bidang pendidikan. Presiden dan wakil presiden bersumpah untuk berpegang teguh pada UUD dan melaksanakan UU serta segala peraturannya secara selurus-lurusnya, tidak terkecuali bidang pendidikan.

UU Sisdiknas yang disusun segera setelah UUD disahkan pada 2003, pasal 34 tentang pendanaan memberi tafsir tentang 20%, dengan menegaskan tidak termasuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyelenggarakan wajib belajar minimal tingkat dasar tanpa memungut biaya.

Penyimpangan dari Konstitusi

Presiden Megawati adalah presiden pertama yang harus menjalankan amandemen anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD. Perilaku dan komitmen yang keliru diulangi sehingga penyusunan UU APBN Tahun 2005 diadukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji dengan UUD. Keputusannya, UU APBN 2005, khusus menyangkut anggaran pendidikan, dinyatakan menyimpang dari UUD 1945. Pemerintahan SBY hasil pilihan langsung membuat UU APBN yang juga menyimpang dari UUD karena hanya mencapai 9 % dari APBN. Rakyat kembali mengadu uji UU APBN, Mahkamah Konstitusi bergeming memutuskan UU APBN, khusus untuk anggaran pendidikan, menyimpang dari UUD 1945. Demikian tiga kali berturut-turut UU APBN 2006, 2007, 2008 dinyatakan menyimpang. (Interupsi tahun 2008, MK membuat putusan, memasukkan gaji guru ke dalam persentase 20%).

Penyimpangan itu membenarkan hasil penelitian UNESCO 1995 bahwa rendahnya keberhasilan pendidikan di negara-negara berkembang disebabkan lemahnya komitmen pimpinan nasional.

Keberanian menyimpang dari UUD itu mengherankan karena sumpah presiden dan wakil presiden berpegang teguh pada konstitusi menjadi jargon semua pemerintah. Rupanya, pendapat yang kalah di MPR dihidupkan kembali ketika yang bersangkutan (JK, utusan daerah, dipilih sebagai wakil presiden).

Keberanian tersebut mengherankan karena semangat amandemen pasal 31 (2 dan 4) jelas-jelas bersifat koreksi terhadap lemahnya komitmen negara terhadap pendidikan nasional.

Penyimpangan Konsepsi Pendidikan

UU Sisdiknas No 20/2005 memilih paradigma yang sesuai dengan semangat kebebasan. Pengertian pendidikan dikoreksi, tujuan pendidikan diluruskan, dan prinsip penyelenggaraan pendidikan diperjelas. Terjadi perubahan ideologi, dari pendidikan dominasi guru berubah menjadi pembelajaran berpusat siswa. Fungsi guru berubah dari mengajar, mendidik, membimbng, dan melatih menjadi hanya mewujudkan suasana belajar dan mewujudkan proses pembelajaran agar siswa aktif untuk mengembangkan potensinya sendiri. Peserta didik dihargai sebagai pribadi yang unik, setiap pribadi berbeda satu dengan yang lain. Proses pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif. Bersifat membudayakan dan memberdayakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Seperti tidak memahami perubahan tersebut, Renstra Pendidikan Nasional meluncurkan ide diskriminatif. Sekolah jalur formal dibelah, yang mampu disebut jalur mandiri dan yang tidak mampu disebut jalur normal. Kebijakan nekat itu surut secara tersurat, tetapi terus berkembang secara tersirat dan operasional.

Konsep standardisasi dalam produksi ekonomi menyubversi pendidikan dengan standardisasi isi dan kompetensi kelulusan. Ukuran keberhasilan yang oleh UU Sisdiknas dikonsepkan sebagai penilaian proses, kembali ke konsep konvensional dengan ujian nasional. Hanya di Indonesia rakyat mengadukan hak hukumnya ke pengadilan negeri tentang fakta pelanggaran hak anak. Dan rakyat dibenarkan oleh pengadilan sampai di Mahkamah Agung. (bersambung) [Jawa Pos]

0 komentar: