PENDIDIKAN DAN RISET

on 03.26

Oleh Yansen
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, sedang studi doktor di Australia

Comstech (Committee on Scientific and Technological Cooperation) baru-baru ini mengeluarkan Wise Index of Leading Scientists and Engineer. Ini sebuah daftar yang memuat nama para ilmuwan dan akademisi terdepan di berbagai bidang dari negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Seperti namanya, lembaga yang berpusat di Islamabad ini bertujuan meningkatkan promosi serta kerja sama sains dan teknologi antara ilmuwan negara-negara anggota OKI. Indeks ini didapatkan terutama dari citation index, yakni seberapa tinggi hasil penelitian ilmuwan yang bersangkutan dirujuk oleh peneliti-peneliti lain. Tentu saja indeks ini meningkat dengan semakin banyaknya publikasi yang dilakukan oleh sang peneliti.

Indonesia menyumbang enam ilmuwan dalam daftar ini, tiga di bidang fisika, dua medis, dan satu ilmu kimia. Masuknya enam ilmuwan Indonesia dalam daftar ini sangat membanggakan, sekaligus juga menyedihkan. Ini seperti oase di tengah gurun. Dalam impitan permasalahan dunia pendidikan yang seakan tak berujung, masih ada akademisi negeri ini yang mampu menyodok papan atas ilmuwan dunia, setidaknya ilmuwan dari negara-negara Islam.

Namun, angka enam adalah angka yang menyedihkan. Kalau kita menengok ke Asia daratan, Bangladesh mampu memasukkan lebih banyak sarjana mereka dalam daftar itu. Tak perlu jauh-jauh, 27 orang akademisi Malaysia masuk dalam daftar ini. Apalagi jika dibandingkan dengan Pakistan yang menyumbang sangat banyak sarjananya.Lalu, apakah ilmuwan dan universitas-universitas negeri ini tidak berkualitas? Sebenarnya Indonesia tak kekurangan orang pintar. Namun, jika universitas-universitas di negeri ini tak menghasilkan para pemikir dan peneliti kelas dunia, di manakah masalahnya?

Jawaban klasik yang akan terdengar adalah kurangnya fasilitas dan sarana penunjang. Ini mungkin betul. Tapi, apakah semua penelitian membutuhkan fasilitas canggih dan mahal? Saya pikir tentu saja tidak. Sebagai bahan perbandingan, pengalaman bersekolah di Australia, penulis menemukan banyak staf peneliti yang merancang alat-alat penelitian mereka sendiri.

Lalu, apakah penyebab utamanya para peneliti Indonesia seakan-akan tenggelam? Mungkin banyak hal, tapi ada satu hal yang menurut saya penting dan harus ditanggulangi. Permasalahan itu adalah diseminasi dan komunikasi hasil penelitian. Jika kita melihat dari indeks yang dikeluarkan oleh Comstech tadi, maka jelas nama-nama itu muncul berkat publikasi mereka di jurnal-jurnal ilmiah berskala internasional. Di sinilah letak pokok hambatannya, sedikit sekali peneliti Indonesia yang memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal berskala internasional.

Lalu mengapa demikian, apakah penelitian para sarjana kita tidak berkualitas? Tidak juga. Sangat banyak penelitian berkualitas yang dilakukan peneliti-peneliti kita. Masalahnya, banyak dari mereka yang tidak percaya diri untuk memublikasikan hasil temuannya di dunia internasional. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala.

Kendala pertama adalah bahasa. Semua jurnal berskala internasional saat ini berbahasa Inggris. Karena itu, kemampuan bahasa Inggris menjadi prasyarat wajib. Tapi, masalah ini sebenarnya dapat diatasi dengan menggunakan jasa penerjemah profesional ataupun riset bersama-sama dengan orang yang bisa berbahasa Inggris.Kendala kedua yang lebih penting adalah kurangnya referensi. Dunia penelitian adalah dunia bersambung. Merujuk kepada penelitian-penelitian sebelumnya merupakan hal yang tak terhindari.

Bisa dihitung dengan jari universitas di Indonesia yang berlangganan jurnal internasional. Hasilnya, para peneliti kita tak mampu mengikuti perkembangan pengetahuan di bidang mereka. Di level nasional saja, hasil-hasil penelitian yang ada pun tak terdiseminasi secara baik dan luas. Jurnal ilmiah sangat kurang jumlahnya. Bahkan, ada kecenderungan menulis di jurnal ilmiah sekadar sarana mendapatkan angka kredit bagi peneliti yang berstatus pegawai fungsional.

Tidak ada keinginan saling berbagi informasi tentang penelitian. Bahkan hingga kini tak ada satu pun jurnal ilmiah berbasis di Indonesia yang berskala internasional.Ini kemudian berujung pada hal buruk lainnya: penjiplakan dan repetisi. Penjiplakan ide atau penelitian menjadi barang lumrah karena penelitian yang sudah ada tak terpublikasi secara baik. Penelitian pun sering kali bersifat berulang-ulang karena para ilmuwan di bidang yang sama tak mengetahui apa yang sedang dikerjakan oleh koleganya dari wilayah Indonesia yang lain. Akibatnya, banyak penelitian yang dihasilkan tak bisa diverifikasi. Padahal, verifikasi adalah satu dari tiga kaki pokok keilmuan yang bersifat logiko-hipotetiko-verifikatif.

Anggaran pendidikan 2009 yang mencapai Rp 200 triliun jangan disia-siakan. Ini bukanlah angka yang kecil. Jika tak mampu menjadi fondasi perbaikan dunia pendidikan tentu sangat mengecewakan. Anggaran ini harus tepat guna dan menyelesaikan masalah-masalah pokok pendidikan, termasuk riset. Dalam konteks dunia riset, Ditjen Pendidikan Tinggi sudah menggelontorkan dana-dana penelitian yang bersifat hibah kompetisi ke universitas-universitas. Hibah-hibah dalam berbagai skala dan level ini sangat membantu para akademisi melakukan penelitian-penelitian.

Hal ini sudah berjalan baik walaupun mungkin perlu perbaikan di sana-sini. Namun, seperti yang diungkapkan di atas, inisiatif untuk diseminasi hasil masih menjadi masalah. Makanya, menurut saya harus ada langkah konkret mengatasi ini. Ada dua hal yang dapat dilakukan.Pertama, anggaran pendidikan yang besar ini harus mampu memfasilitasi penyebaran hasil penelitian dalam jurnal-jurnal nasional ke seluruh universitas di Indonesia. Teknologi internet tentunya semakin mempermudah usaha ini.

Inisiatif ini akan membuat komunikasi penelitian sesama peneliti akan berkembang. Dikti juga harus mampu mendorong jurnal-jurnal prospektif untuk berkembang menjadi jurnal skala internasional.Kedua, anggaran pendidikan yang ditujukan untuk pengembangan koleksi referensi harus diperbesar. Pengisian perpustakaan di universitas-universitas dengan buku-buku mutakhir harus diprioritaskan.

Insentif untuk membantu lembaga pendidikan berlangganan jurnal internasional harus diberikan. Saat ini ada banyak layanan databases yang menyediakan akses ke ratusan jurnal internasional dalam pelbagai bidang dan dapat diakses secara online.

Mengusahakan universitas-universitas di Indonesia berlangganan databases ini akan memberikan fondasi kuat meningkatkan dunia penelitian di Indonesia. Jika dilakukan, yakinlah ini dapat menjadi tapak baru dalam cita-cita menjadikan universitas di negeri ini sebagai centre of excellence. Pada ujungnya kita dapat pelan-pelan bangkit dari keterpurukan dan menjadi bangsa besar di dunia.

Ikhtisar:
- Sangat sedikit peneliti Indonesia yang memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal internasional.
- Banyak peneliti tidak percaya diri untuk menerbitkan hasil temuan di dunia internasional.
- Perlu insentif agar lembaga pendidikan bisa berlangganan jurnal internasional.

[Republika Online]

0 komentar: