RANTAI KEKERASAN TERHADAP MURID

on 03.11

Oleh Ardhie Raditya
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Unesa.

Masih saja ada guru yang menggunakan praktik kekerasan dalam metode pendidikan di sekolah. Setelah kasus kekerasan guru terhadap siswa terjadi di Jember, Semarang, dan Situbondo, kini kekerasan itu terjadi lagi di salah satu sekolah tingkat menengah atas di Tapanuli. Bahkan, kasus kekerasan guru di sekolah tersebut sempat membuat berang DPRD setempat.

Sudah banyak pemerhati pendidikan menyerukan agar kekerasan disingkirkan dari proses belajar-mengajar di sekolah. Tidak hanya itu, pemerintah pun telah memberikan petunjuk supaya guru menjalankan profesi sebagai pendidik yang humanis dan mengedepankan nilai pedagogis.

Sispendiknas 2003, Bab XI 'Pendidik dan Tenaga Kependidikan', misalnya, pasal 40 ayat 2, dengan tegas menyatakan bahwa guru diharapkan menjalankan kewajibannya untuk: a) menciptakan suasana pendidikan yang amat menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; b) mempunyai komitmen secara profesional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan; c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukannya sesuai kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Dalam salah satu rumusan kode etik guru yang dirumuskan PGRI pada kongres ke-13 pada 1973 pun dijelaskan bahwa guru secara perorangan ataupun bersama-sama secara kontinu harus berusaha menciptakan, memelihara, serta mengembangkan suasana sekolah yang empatis serta bernuansa humanistik sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi siswa.

Mengapa kebijakan itu mendesak untuk dijadikan acuan dan diimplementasikan oleh pendidik di sekolah? Sebab, secara sosio-filosofis, sejak manusia dilahirkan di dunia, mereka dipenuhi dengan berbagai lumuran cinta, kasih-sayang sang ibu. Di sekolah, guru haruslah menjadi pengganti sang ibu yang menyayangi dan empatik terhadap perkembangan psikologis anak didiknya.

Tidak Semua

Sayang, tidak semua guru adaptif terhadap berbagai norma sosial yang telah menjadi kerangka dasar sistem pendidikan yang menghasilkan suasana kreatif dan penuh nuansa psiko-humanistik. Tentu kasus kekerasan yang terjadi di daerah bukanlah yang pertama. Hampir di setiap sekolah, kekerasan guru terhadap siswa kerap terjadi. Hanya, tak banyak yang diketahui publik.

Hasil penelitian saya di sejumlah sekolah di Madura menunjukkan bahwa 70 persen guru (informan penelitian) menganggap proses pembelajaran di sekolah perlu diikuti dengan metode kekerasan. Tujuannya agar siswa menjadi patuh dan disiplin. Penelitian ini pun semakin menguatkan hasil riset Yayasan Semai Jiwa Amini (2007) yang menunjukkan 10 persen guru melakukan kekerasan fisik sebagai bagian dari hukuman.

Sepuluh persen guru berpendapat bahwa hukuman fisik adalah cara efektif menegur siswa. Sedangkan 27,5 persen guru beranggapan bahwa kekerasan tidak akan berdampak kepada psikologis siswa. Ini menyiratkan satu makna penting bahwa masih banyak guru di sekolah yang menganggap kekerasan adalah bagian penting dalam proses pendidikan.

Menurut Hannah Arend dalam On Violence (1999), kekerasan di ranah sosial (apa pun bentuknya) disebabkan oleh tiga akar persoalan. Pertama, struktur sosial atau struktur kekuasan. Kedua, kultural. Ketiga, kapasitas personal. Ketiga dimensi itulah yang bisa menyebabkan kekerasan menjadi sebuah spiral kekerasan.

Bila salah satu dari ketiga akar kekerasan masih memancarkan praktik atau tindak kekerasan (meski dalam skala minimal), kekerasan akan terus berjalan dan selalu berulang layaknya sistem kerja spiral.

Tampaknya, kasus kekerasan yang kerap terjadi di institusi pendidikan kita tidak lepas dari spiral kekerasan yang hingga kini masih berjalan dan belum dituntaskan secara total.

Betapa tidak, sistem pendidikan di sekolah hingga kini dijalankan mirip sistem pabrik. Dalam sistem pabrik, terdapat norma struktur kekuasan yang harus dipatuhi anggotanya. Yakni, ketepatan waktu, ketaatan, dan rutinitas pekerjaan yang stagnan. Tindakan yang menyalahi ketiga hal itu akan menimbulkan suatu sanksi dari hierarki kekuasaan.

Murid yang menyimpang akan dihukum oleh guru. Guru yang tidak dapat membuat siswa adaptif terhadap struktur kekuasaan akan dihukum sang atasan (kepala sekolah). Itu artinya, mekanisme di medan pendidikan kita masih sentralistik. Ini yang mengekang kesadaran kritis dan skill dialogis para anggotanya.

Pendidikan kita pun tak bisa dilepaskan dari faktor kultur masyarakat. Sebab, budaya itu memiliki sifat superorganic (kekuatan ideologis), yakni mendistribusikan pengalaman sosial dari generasi ke generasi berikutnya.

Nah, pendidikan yang keras dan represif masih berjalan dengan masif dalam keluarga dan masyarakat. Banyak orang tua yang mendidik anak-anaknya dengan pola asuh represif. Sementara, di masyarakat banyak konflik dan persoalan sosial yang diselesaikan dengan cara kekerasan (berkelahi, membakar, hingga membunuh lawannya).

Kedua hal di atas setidaknya dapat dikurangi derajat penetrasinya jika individu atau pendidik memiliki aura humanitas, profesionalitas, serta pedagogis (altruisme sosial) yang tinggi. Dengan kata lain, the right man in the right place.

Sayang, tidak banyak orang yang memiliki kapasitas dan basis kompetensi 'prima' (pendidik yang ideal) seperti itu. Sebab, rekrutmen CPNS (entah tenaga teknis, umum, atau para pendidik hingga kini sering diwarnai sogok-menyogok dan kecurangan. [Jawa Pos]

0 komentar: