REFORMASI PENDIDIKAN : BELAJARA DARI JEPANG

on 03.29

Oleh Meta Sekar Puji Astuti

Titik balik sejarah reformasi pendidikan di Jepang dapat ditilik sejak 140 tahun lalu di era yang dikenal Restorasi Meiji (1868-1912). Reformasi pendidikan merupakan salah satu agenda utama modernisasi negara Jepang.

Sebagai awal modernisasi, Jepang membentuk beberapa misi khusus yang dikirim ke luar negeri. Misi-misi ini mengunjungi beberapa negara di Eropa, Amerika Serikat, dan juga Asia. Para pemimpin Jepang ini yang kebanyakan dari golongan samurai, pergi mempelajari peradaban Barat termasuk sistem pendidikannya.

Tak dimungkiri lagi reformasi pendidikan di Jepang merupakan salah satu kunci keberhasilan negara ini baik di bidang ekonomi, teknologi, dan industri. Negara jiran kita, Malaysia, di era PM Mahathir Muhammad melalui kebijakan Look to East pada 1980-an secara terang-terangan mengaku mengadaptasi model sistem pendidikan Jepang.

Topik dan isu pendidikan Jepang telah banyak mengundang perhatian peneliti Barat dan Jepang sendiri. G Sougen Victor Hori dan Thomas Rohlen (2006) menyatakan bahwa sistem pendidikan Jepang unik karena proses sejarah akulturasi yang panjang. Proses ini menghasilkan semangat spiritualisme kuno Jepang termasuk adaptasi budaya kuno (Buddha dan Confucianism) dari Cina.

Kenyataannya, belum banyak ahli pendidikan di Indonesia memberi perhatian khusus untuk meneliti reformasi pendidikan Jepang. Timbul sebuah pertanyaan, apakah proses dan sejarah reformasi pendidikan Jepang dapat menginspirasi reformasi pendidikan di Indonesia?

Perubahan radikal
Gerakan reformasi Indonesia telah dilakukan sejak 10 tahun yang lalu. Tapi agenda reformasi, khususnya di bidang pendidikan, tampak masih berjalan terseok-seok. Masih banyak agenda reformasi pendidikan yang belum terselesaikan.

Belum ada gerakan radikal yang berkelanjutan dilakukan pemerintah Indonesia. Reformasi pendidikan pada masa awal modern Jepang sudah dilakukan secara radikal (Okano dan Tsuchiya, 2003). Awalnya, reformasi pendidikan dilakukan untuk mengubah sistem sekolah tradisional (terakoya) ke sistem modern.

Sekolah yang awalnya hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan (samurai) diubah menjadi sistem pendidikan modern yang demokratis dan bagi semua golongan. Sistem pendidikan sempat dipolitisasi untuk mendukung gerakan nasionalisme dan militerisme negara pada masa perang.

Pascaperang (setelah 1945), melalui pengaruh pemikiran kolonial Amerika Serikat, reformasi pendidikan fokus ke pengembangan individu untuk industrialisasi negara. Tahun 1960-an kebijakan pelaksanaan ujian nasional (UN) juga pernah menjadi isu besar di Jepang. Dimotori oleh Serikat Guru Jepang (Nikkyouso) pemerintah dikritik habis dalam pelaksanaan ujian ala Jepang ini.

Setelah terjadi konflik berkepanjangan antara pemerintah dan nikkyouso serta gerakan masyarakat di tingkat akar rumput, tahun 1969 kebijakan UN dihapus. Pada 1980-an reformasi pendidikan menjadi isu nasional ketika PM Yasuhiro Nakasone menghapus kebijakan pengaruh kolonial Amerika yang dianggap tidak sesuai lagi.

Melalui reformasi ini pendidikan lebih fokus untuk pembentukan identitas diri masyarakat Jepang sesuai pribadi asli bangsa Jepang. Mulai 1990 reformasi pendidikan menghasilkan kebijakan yang mendukung pengembangan lifelong learning. Pada 1886 Arinori Mori, menteri pendidikan pertama di Jepang, memisahkan antara institusi untuk studi akademis (gakumon) dan pendidikan (secara umum) atau kyouiku. Meski sistem ini dihapus pada 1945, pada praktiknya komponen gakumon dan kyouiku tetap ada di kurikulum sekolah modern.

Menurut kajian para peneliti, pendidikan Jepang lebih menekankan moral dan spiritual (Hori; Rohlen, 2006) dan soft-skill (termasuk kyouiku). Pendidikan Barat dianggap cenderung lebih menitikberatkan pengembangan kognitif.

Dari fakta yang ada hasil pencapaian tes internasional matematika dan sains murid-murid di Jepang selalu menunjukkan angka tertinggi (Lynn, 1988; NCES, 2003). Richard Lynn, pakar psikologi dari University of Ulster, Inggris, dalam bukunya yang berjudul Educational Achievement in Japan: Lessons for the West menyarankan dunia Barat perlu belajar dari sistem pendidikan Jepang. Para peneliti rata-rata juga menyatakan bahwa spiritualisme (moral), pengembangan pribadi seutuhnya, sistem pendidikan yang efisien dan disempurnakan (kaizen) merupakan beberapa kunci keberhasilan pendidikan Jepang.

Pendidikan berpihak rakyat
Yukichi Fukuzawa, seorang pembaharu modernisasi Jepang (potret dirinya terdapat di kertas nominal tertinggi, 10 ribu yen), dikenal juga sebagai tokoh pendidikan dan penulis yang sangat produktif pada masanya. Dulu sebelum memublikasikan artikel atau tulisannya ia berikan kepada pembantunya. Bila pembantunya dianggap telah mengerti tulisannya maka tulisan tersebut layak diterbitkan.

Prinsipnya, hasil karya tulisannya harus dapat dipahami oleh semua kalangan. Melihat kebijakan-kebijakan Jepang di bidang pendidikan bisa dikatakan reformasi pendidikan di Jepang dimaksudkan untuk kepentingan seluruh rakyat bukan golongan tertentu. Bagaimana dengan Indonesia?

Setidaknya Indonesia dapat belajar dua hal dari proses reformasi pendidikan Jepang. Pertama, reformasi pendidikan di Jepang dimulai perubahan pola berpikir (mind-set) pemimpin Jepang. Mempelajari model-model baru dan berani membuat langkah kebijakan radikal untuk berubah. Kedua, kebijakan pemerintah Jepang dalam bidang pendidikan dilakukan secara serius, berkelanjutan, dan terus disempurnakan.

Tidak ada gading yang tak retak. Sistem pendidikan Jepang pun juga memiliki beberapa sisi negatif (Lynn, 1988; Okano dan Tsuchiya, 2003). Namun, ada pepatah Jepang yang mengatakan mane wa manabu atau meniru adalah belajar. Indonesia pun dapat belajar dengan meniru dari pengalaman Jepang. Siapa takut?

Meta Sekar Puji Astuti, Ketua Unit Kajian Kebudayaan Jepang Unhas. [Republika Online]

0 komentar: