on 23.48


PROYEK PROPOSAL






Artinya : “Siapakah yang mau mamberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah) maka Allah SWT akan melipat gandakan pembayarannya dengan banyak kali lipat dan Allah menyempitkan rezeki kepada sebagian orang dan kepadanyalah kamu kembali” (Q.S.2:245)

I. MUKADDIMAH
Yayasan Daarussa’adah (YASDA) didirikan pada hari Jum’at, tanggal 28 Desember 1979 dengan nomor akte notaris 104, lembaga pendidikan diantaranya :
1. Madrasah Ibtidaiyah (MI) tahun 1970
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1980
3. Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1985
4. Madrasah Tsanawiyah (MTS) tahun 1986
5. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tahun 1994
6. Experiment Class tahun 2003
YASDA memiliki gedung permanent tiga lantai, di atas tanah + 2.000 M2 dengan luas bangunan + 1.500 m2. Namun sejak dibangun + tahun 1988 hingga saat ini bangunan belum terselesaikan. Sementara itu usia bangunan yang cukup lama, banayak dari bagian-bagian gedung yang mengalami kerusakan cukup serius.
Kami menyadari benar akan perlunya penyempurnaan hal-hal yang sudah kami sebutkan di atas, namun idealisme ini harus berhadapan dengan realita kemampuan kami yang sangat terbatas.
Besarnya biaya operasional pendidikan yang rutin, baik operasional harian maupun bulanan dan tahunan, menyebabkan kami senantiasa mengalami defisit anggaran yang cukup besar. Hal ini menyulitkan kami untuk membangun upaya-upaya tersebut yang tentunya dapat berimbas terhadap kwalitas lembaga kami, disamping lebih dari 60 % siswa kami adalah siswa yatim dan tidak mampu yang harus dibantu pendidikannya.
Di dalam GBHN ditegaskan bahwa tujuan pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu pembangunan yang tidak mengejar kepuasan lahir saja tetapi juga mengutamakan kepuasan batin.
Peningkatan kualitas SDM merupakan suatu keharusan. Pembangunan SDM melalui pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat khususnya kaum muslimin. Pada pundak kita semua terbebani tanggung jawab akan terlaksananya pendidikan yang diselenggarakan secara interaktif, empriatif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemendirian yang sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik secara psikologis.
Berdasarkan pemikiran itulah kami berusaha mengelola dan mengembangkan lembaga kami yang harapan kami menjadi sangat bermanfaat bagi masyarakat. Amin.

II. TUJUAN DAN RENCANA ANGGARAN
A. Rencana penyempurnaan fisik gedung yang meliputi:
1. Penyempurnaan Ruang kelas Lantai III
2. Penggantian atap gedung
3. Penyelesaian bangunan bagian belakang dan samping
4. Penyempurnaan ruang Praktikum
5. Ruang fasilitas pendukung ekstrakulikuler
6. Taman, area parkir dan lapangan olah raga
7. Pengadaan ruang pendukung
8. Pengadaan kantin sekolah
B. Pengadaan sarana prasarana yang meliputi:
1. Penggantian Meja kursi siswa
2. Meja kursi guru
3. Penggantian Komputer
4. Pengadaan peralatan Olahraga dan Ekstrakulikuler
5. Pengadaan sarana pendukung lainnya
C. Rencana Anggaran Biaya
Terlampir

III. LOKASI GEDUNG
Yayasan Daarussa’adah (YASDA) berlokasi di Jl.H.R. Rasuna Said Patra Kuningan XV Menteng Dalam Jakarta Selatan Telepon (021) 8355865, 8310135.

IV. HARAPAN DAN PENUTUP
Demikianlah proposal ini kami sampaikan atas segala perkenaan dan perhatiaannya kami ucapkan banyak terima kasih. Semoga Allah yang maha rahman dan rahim membalas kebaikannya dengan balasan yang berlipat ganda. Amin.
Jazakumullah Khairon Katsiro

PANITIA RENOVASI GEDUNG SEKOLAH
YAYASAN DAARUSSA’ADAH (YASDA)

KEGIATAN KELEMBAGAAN YAYASAN DAARUSSA’ADAH

on 23.41


A. BIDANG PENDIDIKAN
1. Pendidikan Formal
a) Experimen Class
b) Madrasah Ibtidaiyah (MI)
c) Madrasah Tsanawiyah (MTs)
d) Sekolah Menengah Pertama (SMP)
e) Sekolah Menengah Atas (SMA)
f) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Program Keahlian Bisnis Manajemen
2. Pendidikan Non Formal
a) Majelis Ta’lim Kaum Ibu dan Remaja
b) Pemberantasan buta huruf al-Qur’an
c) Kursus-kursus
d) Club Bahasa Inggris
e) Taman Pendidikan Qur’an (TPQ)
f) Seni baca al-Qur’an

B. BIDANG SOSIAL MASYARAKAT
1. Memberikan santunan berkala kepada anak yatim
2. Membantu siswa yatim dengan membebaskan SPP untuk tingkat Ibtidaiyah dan 50 % untuk tingkat lainnya
3. Menerima dan menyalurkan zakat kepada mereka yang berhak
4. Menerima dan menyalurkan hewan qurban kepada masyarakat sekitar
5. Memberikan santunan pada hari-hari besar Islam
6. Dan lain-lain

C. BIDANG DAKWAH
1. Mengadakan muhadhoroh
2. Memberikan bimbingan khitobah
3. Ikut aktif dalam kegiatan dakwah di masyarakat
4. Menyediakan media dakwah melalui program majelis ta’lim
5. Pengajian bulanan
6. Menyelenggarakan syiar agama pada hari-hari besar Islam
7. Kegiatan seni Islami
8. Melaksanakan dakwah Bil Hal
9. Karnaval syiar Ramadhan
10. Tabligh Akbar/Haflatul Wada’

SUSUNAN PANITIA RENOVASI GEDUNG YAYASAN DAARUSSA’ADAH (YASDA)

on 01.29

Pelindung : Pengurus Yayasan Daarussa’adah
Penasehat : 1. K.H. Drs. Sholeh Ramly
2. H. Abdurrahim Zakaria
Ketua : H. Moh. Ali Zaini
Wakil Ketua : Hj. Eka Zainah
Sekretaris : Khilda Mahmudah, SE
Wakil Sekretaris : H. Ahmad Syukri, SE
Bendahara : Ari Lutfiah
Wakil Bendahara : Drs. Saefuddin Zuhri
Pengawas Harian : Imam Zarkasih
Pengadaan Barang : 1. H. Endy Sabilarrosyad
2. Mansyurluddin
Humas : 1. Hj. Saidah Zaini
2. H. Izuddin Zaini
Pembantu Umum : 1. Ahmad Hidayat
2. H. Ahmad Syukri. SE
3. Dra. Hj. Marhumah Zaini
4. Staff Dewan Guru Yayasan Daarussa’adah

SUSUNAN PENGURUS YAYASAN DAARUSSA’ADAH (YASDA)

on 01.12

Penasehat : K.H. Zaini Zakaria

Pelindung : 1. H.Muhammad Khatib AS
2. Drs.K.H.Sholeh Ramli

Ketua Umum : Ustz. Hj. Khodijah AS

Ketua I : H. Abdullah As’ad

Ketua II : H.Ahmad Izuddin.LC

Sekretaris Umum : Dra.Hj.Mama Marhumah

Sekretaris I : Drs. Nuryansyah Saibah

Sekretaris II : Hj.Saidah Sholeh

Bandahara Umum : H. Moh. Ridho AS

Bendahara I : H. Moh. Ali Zaini

Bendahara II : Eka Zainah

Bidang-bidang

1. Bidang pendidikan : 1. Eka Zainah
2. Siti Zuhriah
3. A.Syukrie,SE

2. Bidang Da’wah : 1. Hj. Aisyah Zaini
2. H. Abdullah As’ad
3. H. Izuddin,LC
4. H. Abd. Rohim Zakaria

3. Bidang Dana/Sosial : 1. H. Moh. Ali Zaini
2. Hj. Saidah Zaini
3. H. Moh Ridho. As

4. Bidang Perlengkapan : 1. Drs. H. Endy Sabilarrosyad
2. Imam Zarkasih

5. Bidang Humas : 1. Khildah Mahmudah, SE
2. Ari Lutfiah, SS

RENCANA ANGGARAN BIAYA RENOVASI GEDUNG

on 02.08

A. ANGGARAN BIAYA RENOVASI
1. Penggantian Plafon/atap gedung
400 meter x Rp. 400.000,- = Rp. 160.000.000,-
2. Perbaikan gedung bangunan dan pengadaan kaca = Rp. 120.000.000,-
3. Penyempurnaan Ruang Praktikum dan Ekstrakulikuler = Rp. 90.000.000,-
4. Pengadaan taman, parkir motor dan kantin sekolah = Rp 30.000.000,-
J U M L A H Rp. 400.000.000,-
B. PENGADAAN FASILITAS PENUNJANG
1. 150 Unit kursi dan meja siswa @ Rp. 90.000.- = Rp. 13.500.000,-
2. 15 Lemari kelas @ Rp 300.000.- = Rp. 4.500.000,-
3. 4 Unit lemari arsip @ Rp. 600.000.- = Rp. 2.400.000,-
4. 5 Rak buku perpustakaan @ Rp. 500.000.- = Rp. 2.500.000,-
5. 10 Unit Komputer @ Rp. 4.000.000 = Rp. 40.000.000,-
6. 3 unit Printer @ Rp. 750.000 = Rp. 2.250.000,-
7. 20 Unit meja dan kursi guru @ Rp. 400.000.- = Rp. 8.000.000,-
8. 10 Set fasilitas olahraga = Rp. 4.500.000,-
9. OHP = Rp. 6.000.000,-
10. Fasilitas ruang audio visual = Rp. 25.000.000,-
J U M L A H Rp. 108.650.000,-
T O T A L J U M L A H Rp. 508.650.000,-
( Lima Ratus Delapan Juta Enam Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah )

PANITIA RENOVASI GEDUNG SEKOLAH
YAYASAN DAARUSSA’ADAH (YASDA)

RENCANA PENGADAAN FASILITAS PENUNJANG

on 01.53

1. 150 Unit kursi dan meja siswa @ Rp. 90.000.- = Rp. 13.500.000,-
2. 15 Lemari kelas @ Rp 300.000.- = Rp. 4.500.000,-
3. 4 Unit lemari arsip @ Rp. 600.000.- = Rp. 2.400.000,-
4. 5 Rak buku perpustakaan @ Rp. 500.000.- = Rp. 2.500.000,-
5. 10 Unit Komputer @ Rp. 4.000.000 = Rp. 40.000.000,-
6. 3 unit Printer @ Rp. 750.000 = Rp. 2.250.000,-
7. 20 Unit meja dan kursi guru @ Rp. 400.000.- = Rp. 8.000.000,-
8. 10 Set fasilitas olahraga = Rp. 4.500.000,-
9. OHP = Rp. 6.000.000,-
10.Fasilitas ruang audio visual = Rp. 25.000.000,-
Rp. 108.650.000,-

JUMLAH TOTAL ANGGARAN

1. Perbaikan dan penyempurnaan gedung = Rp. 508.650.000,-
2. Pengadaan Fasilitas belajar = Rp. 108.650.000,-
Rp. 617.300.000,-


PANITIA RENOVASI GEDUNG SEKOLAH
YAYASAN DAARUSSA’ADAH (YASDA)

SUSUNAN PENGURUS YAYASAN DAARUSSA’ADAH
(YASDA
)

on 11.34


Penasehat                              : K.H. Zaini Zakaria


Pelindung                              : 1. H.Muhammad Khatib AS


                                                    2. Drs.K.H.Sholeh Ramli


Ketua Umum                       : Ustz. Hj. Khodijah AS


Ketua I                                   : H. Abdullah As’ad


Ketua II                                : H.Ahmad Izuddin.LC


Sekretaris Umum             : Dra.Hj.Mama Marhumah


Sekretaris I                         : Drs. Nuryansyah Saibah


Sekretaris II                       : Hj.Saidah Sholeh


Bandahara Umum           : H. Moh. Ridho AS


Bendahara I                       : H. Moh. Ali Zaini


Bendahara II                     : Eka Zainah


Bidang-bidang


1. Bidang pendidikan           : 1. Eka Zainah


                                                        2. Siti Zuhriah


                                                        3. A.Syukrie,SE


2. Bidang Da’wah                   : 1. Hj. Aisyah Zaini


                                                        2. H. Abdullah As’ad


                                                        3. H. Izuddin,LC


                                                        4. H. Abd. Rohim Zakaria


3. Bidang Dana/Sosial         : 1. H. Moh. Ali Zaini


                                                       2. Hj. Saidah Zaini


                                                      3. H. Moh Ridho. As


4. Bidang Perlengkapan    : 1. Drs. H. Endy Sabilarrosyad


                                                      2. Imam Zarkasih


5. Bidang Humas                 : 1. Khildah Mahmudah, SE


                                                     2. Ari Lutfiah, SS


Ketua Umum


Yayasan Daarussa’adah


(YASDA)



 





Ustz. Hj. Khodijah, AS,-

Lirik Lagu Nidji - Laskar Pelangi

on 00.48

Ini nih lagunya Nidji yang jadi Soundtracknya Film Laskar Pelangi. Lagunya memang bagus, dan menjadi motivasi setiap orang

mimpi adalah kunci
untuk kita menaklukkan dunia
berlarilah tanpa lelah
sampai engkau meraihnya

laskar pelangi
takkan terikat waktu
bebaskan mimpimu di angkasa
warnai bintang di jiwa

menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia

selamanya…

cinta kepada hidup
memberikan senyuman abadi
walau hidup kadang tak adil
tapi cinta lengkapi kita

laskar pelangi
takkan terikat waktu
jangan berhenti mewarnai
jutaan mimpi di bumi

menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia

selamanya…

Bila Orang Kaya Menyerbu Sekolah Negeri, Akan Dikemanakan Mereka Yang Tidak Punya Uang?

on 20.25

Oleh : Nirma Marina Lestari
Saya Mahasiswi di Atma Jaya

Ibu saya kebetulan memiliki 2 sekolah menengah di Kota Depok, Jawa Barat. Satu sekolah di jenjang SLTP & SMU dan dibangun sejak tahun 1984, kemudian satu lagi baru 3 tahun berdiri dan berada di jenjang TK-SD-SLTP-SMU & SMK Broadcast pertama di Indonesia, keduanya berstatus "Disamakan". Sebagai anaknya, saya tentu diminta untuk selalu ikut "bergabung" mengurusi management kedua sekolah ini sehari-harinya meskipun saya masih berstatus mahasiswi walau Insya Allah akan lulus sebentar lagi.

Banyak hal yang saya pelajari dan saya perhatikan mengenai masalah-masalah pendidikan. Salah satu yang saya perhatikan adalah mengenai pola pikir masyarakat terhadap sekolah yang dinamakan "Sekolah Negeri".

Sekolah Negeri pada dasarnya seperti yang kita ketahui adalah sekolah yang semua penyelenggaraannya diadakan oleh dan atas dana dari Pemerintah Dari mulai biaya pembangunan gedung, penyediaan fasilitas, biaya belanja ATK, pembayaran listrik, telefon, gaji guru dan karyawan yang semua adalah PNS. Di negara lain pun sekolah negeri adalah milik pemerintah dan semua dana berasal dari pemerintah.

Sekolah swasta pada dasarnya adalah dibangun untuk membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak bangsa ini, membantu dalam menyediakan daya tampung, membantu mengurangi Anggaran Pengeluaran/Belanja Pendidikan dari mulai anggaran gaji guru, anggaran sarana prasarana sekolah, dan lain-lainnya.

Sekolah Negeri karena dibiayai oleh pemerintah SEHARUSNYA, layaknya negara-negara lain-khususnya negara maju, GRATIS/ BEBAS BIAYA bagi semua siswanya. Kalau pun kita harus membayar selayaknya tidaklah besar jumlahnya, sekedar membantu kesejahteraan guru atau pengembangan SDM pengajar dan para siswa atau operasional seadanya.

Sementara Swasta, Karena semua bantuan tadi memerlukan banyak biaya dan biaya ini datangnya dari pemilik sekolah, tentu tidaklah heran apabila untuk bisa menikmatinya siswa harus membayar sejumlah biaya yang besarnya bervariasi tergantung keadaan sekolahnya. Sekolah swasta ini hadir dengan berbagai macam keadaan untuk melayani masyarakat dari yang berpenghasilan rendah menengah sampai yang berpenghasilan tinggi.

Sekolah Negeri karena berbiaya rendah seharusnya ditujukan bagi siswa dari masyarakat/keluarga yang berpenghasilan KECIL, baik bagi mereka yang mempunyai intelegensia tinggi sampai yang tergolong biasa-biasa saja! Sementara bagi mereka yang berpenghasilan tinggi, diharapkan masuk ke sekolah-sekolah swasta!

TAPI APA YANG TERJADI?! Semakin hari semakin bisa kita lihat, dan diantara anda pasti ada pula yang merasakan, bahwa saat ini justru sebagian besar dari masyarakat kita berpola pikir "NEGERI MINDED"..apa pula istilah itu? "NEGERI MINDED" menurut kami adalah pola pikir yang terbentuk dalam benak masyarakat, baik yang kaya maupun miskin, dimana mereka menganggap bahwa sekolah negeri is the best, is everything, so proudly. Akan sangat membanggakan apabila anak-anak mereka bisa diterima di dalam sekolah negeri.

Pola pikir semacam itu terasa kental sekali pada masyarakat yang akan memasuki jenjang pendidikan khususnya SLTP dan SMU! Bahkan yang di Universitas sekalipun!

Semua orang berbondong-bondong menyerbu kesana. Termasuk yang kaya sekalipun! Bangku yang seharusnya bisa diisi oleh semua siswa yang orang tuanya tidak mampu, ikut diperebutkan oleh mereka yang mampu secara finansial.

Keadaan lebih diperburuk dengan adanya KOLUSI dan NEPOTISME.

Kami menemukan di lapangan/banyak sekolah negeri dimana banyak orang tua siswa yang rela untuk menyogok Jutaan Rupiah agar bisa masuk kesana. (disini saya bicara 5-10 juta rupiah seperti kenyataan yang kami temukan di lapangan dan SPP sekitar Rp 150.000,-)! Yang resmi diterima saja dikenakan uang masuk sekitar 2-3 juta per siswa! Padahal uang 2-10 juta itu bisa digunakan untuk bersekolah di swasta yang notabene fasilitasnya lebih lengkap.

Sekarang kalau sekolah negeri penuh dengan siswa dengan orang tua berpenghasilan tinggi, lalu akan pergi kemana mereka yang tidak mempunyai uang? sekolah mana yang tersisa buat mereka? swasta? semurah-murahnya swasta seharusnya Negeri jauh lebih murah karena alasan pembiayaan pemerintah tadi! Akankah kita/anda sekalian tega membiarkan mereka sudah jatuh tertimpa tangga pula?

Saya ingat perkataan ibu saya yang demikian,"Kalau orang tuanya jadi tukang bakso, anaknya boro-boro jadi juragan bakso, yang ada jadi lebih buruk dari tukang bakso! Karena boro-boro mau lebih maju, sekolah saja tidak dapat tempat!"

Alasan klasik mereka yang masuk sekolah negeri adalah kebanyakan mengatakan bahwa mutu pendidikan disana lebih baik. Siapa bilang demikian? anda bisa melihat kenyataan contohnya di sekolah-sekolah swasta khususnya yang elit di Jakarta, misalnya, Pelita Harapan, Al Izhar, Santa Ursula, dll... Lulusan mereka hampir semuanya bagus-bagus, bahkan kalau indikator yang anda pakai adalah NEM (sekarang nilai UAN), justru nilai tertinggi seringkali didapat oleh siswa swasta. Begitu pula di Universitas Swasta, banyak lulusannya yang menjadi orang berhasil.

Negeri atau Swasta tidak masalah. Semua itu tergantung diri masing-masing, apakah mereka MAU belajar dengan baik atau tidak.

Oleh karena itu, saya menghimbau kepada Anda semua yang kira-kira berpenghasilan yang cukup untuk membiayai anak-anak Anda ke sekolah swasta, sekolahkanlah mereka di sekolah swasta. Berikanlah kesempatan bagi mereka yang kurang beruntung untuk bisa ikut merasakan dan menikmati pendidikan seperti Anda dan anak Anda semua. Dengan demikian anda turut secara nyata membantu proses pencerdasan bangsa ini.
Terima kasih.

BUAT APA SEKOLAH...???

on 20.11

Oleh: Muhammad Khairul Idaman*
Seorang ibu berkata pada anaknya" nak kalau sudah besar kamu harus jadi pegawai negeri sipil (PNS) biar hidupmu tidak susah, jangan meniru bapak dan ibumu yang tiap hari harus jualan sayur kepasar, biar bapak dan ibu saja yang bodoh dan susah cari uang liat tetangga kita itu sekolahannya tinggi coba lihat hidupnya enak kamu harus mencontoh dia" . Sementara dilain pihak seorang ibu berkata " buat apa sekolah tinggi-tinggi ? dokter sudah ada, menteri sudah ada, guru banyak, presiden sudah ada, mendingan uang sekolahmu dibelikan sapi biar beranak-pinak lebih jelas hasilnya dari pada harus dibayarkan untuk sekolah, coba lihat si lukman itu sekolah jauh-jauh tapi setelah selesai nganggur dan akhirnya sekarang jadi sopir anggutan.." !

Sadar atau tidak, ditingkatan masyarakat opini yang terbangun mengenai dunia pendidikan (sekolah) seperti yang diilustrasikan diatas. Masyarakat menilai bahwa salah satu alat keberhasilan seseorang bersekolah adalah sejauh mana dia mampu membawa dirinya pada status social yang tinggi dimasyarakat indikasinya adalah apakah seseorang itu bekerja dengan berpenampilan elegan (berdasi, pake sepatu mengkilap, dan membawa tas kantor) atau tidak, dan apakah seseorang tersebut bisa kaya dengan pekerjaannya? Kalau seseorang yang telah menempuh jenjang pendidikan (SLTA, D1, D2, D3, S1, S2, dan S3) lulus dan setelah itu menganggur maka dia telah gagal bersekolah. Hal semacam inilah yang sering ditemui di masyarakat kita.

Mencermati hal diatas, apakah memang praktek-praktek pendidikan yang selama ini dijalani ada kesalahan proses?, mengapa dunia pendidikan belum bisa memberikan pengaruh pencerahan ditingkatan masyarakat, lantas apa yang selama ini dilakukannya oleh dunia pendidikan kita? kalaupun yang diopinikan masyarakat itu adalah kesalahan berpikir, mengapa kualitas pendidikan di Indonesia tidak lebih baik dari negara lainnya, bukankah setiap hari upaya perbaikan pendidikan terus dilakukan mulai dari seminar sampai dengan pembuatan undang-undang system pendidikan nasional? Atau inilah yang dimaksud oleh Ivan Ilich bahwa "SEKOLAH itu lebih berbahaya daripada nuklir. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah."

Jelasnya pendidikan (sekolah) bukanlah suatu proses untuk mempersiapkan manusia-manusia penghuni pabrik, berpenampilan elegan apalagi hanya sebatas regenerasi pegawai negeri sipil (PNS), tapi lebih dari itu adalah pendidikan merupakan upaya bagaimana memanusiakan manusia. Tentunya proses tersebut bukan hal yang sederhana butuh komitmen yang kuat dari setiap komponen pendidikan khusunya pemerintah bagaimana memposisikan pendidikan sebagai inventasi jangka panjang dengan produk manusia-manusia masa depan yang hadal, kritis dan bertanggung jawab. Kalau dunia pendidikan hanya diposisikan sebagai pelengkap dunia industri maka bisa jadi manusia-manusia Indonesia kedepan adalah manusia yang kapitalistik, coba perhatikan menjelang masa-masa penerimaan siswa/mahasiswa tahun ajaran baru dipinggir jalan sering kita temukan mulai dari spanduk, baliho, liflet, brosur, pamlet dan stiker yang bertuliskan slogan yang kapitalistik seperti " lulus dijamin langsung kerja, kalau tidak uang kembali 100%, adapula yang bertuliskan "sekolah hanya untuk bekerja, disini tempatnya" apalagi banyaknya sekolah-sekolah yang bergaya industri semakin memperparah citra dunia pendidikan yang cenderung lebih berorientasi pada pengakumulasian modal daripada pemenuhan kualitas pelayanan akademik yang diberikan. Akhirnya terlihat dengan jelas bagaimana mutu SDM Indonesia yang jauh dari harapan seperti dilaporkan oleh studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks (HDI) Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara.

Jadi, tidak mengherankan kalau ditingkatan masyarakat memandang dunia pendidikan (sekolah) sampai hari ini seperti layaknya sebagai institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS) indikasi dari pandangangan tersebut bisa dilihat bagaimana animo masyarakat yang cukup tinggi ketika pembukaan pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) seolah-olah status/gelar akademik yang mereka capai (D1,D2,D3,S1,S2, dan S3) hanya cocok untuk kerja-kerja kantoran (PNS) hal inipun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik setiap tahunnya bertambah sebab kesalahan motiv sekolah sebagai akibat dari prilaku sekolah yang kapitalistik akhirnya banyak melahirkan kaum terdidik yang bermentalitas "Gengsi gede-gedean"

Beberapa hal diatas setidaknya menjadi renungan bagi dunia pendidikan kita bahwa pendidikan bukanlah sesederhana dengan hanya mengupulkan orang lantas diceramahi setelah itu pulang kerumah mengerjakan tugas besoknya kesekolah lagi sampai kelulusan dicapainya (sekolah berbasis jalan tol), kalau aktivitas sekolah hanya monoton semacam ini maka pilihan untuk bersekolah merupakan pilihan yang sangat merugikan akan tetapi kalau proses yang dijalankannya tidak seperti sekolah jalan tol maka pilihan untuk beinvestasi di dunia pendidikan dengan jalan menyekolahkan anak-anak kita merupakan pilihan yang sangat cerdas. Oleh sebab itu sudah saatnya dunia pendidikan kita mereformasi diri secara serius khusunya bagaimana pembelajaran di sekolah itu bisa dijalankan melalui prinsip penyadaran kritis sehingga melalui kekuatan kesadaran kritis bisa menganalisis, mengaitkan bahkan menyimpulkan bahwa persoalan kemiskinan, pengangguran, dan lainnya merupakan persoalan system bukan karena persoalan jenjang sekolah. Inilah yang seharusnya menjadi muatan penting untuk diinternalisasikan disetiap diri siswa.

Selain itu, mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa sekolah itu tidak sekedar tahapan untuk bekerja kantoran menjadi salah satu agenda dunia pendidikan yang harus segera dilakukan sehingga masyarakatpun bisa memahami secara holistik untuk apa pendidikan itu dilahirkan. Agenda semacam ini akan bisa dijalankan secara baik kalau masing-masing insitusi pendidikan bertindak secara fair bagaimana proses penerimaan siswa baru tidak lagi memakai slogan yang menyesatkan. Mempertahankan sekolah yang kapitalistik sama saja menggerogoti minat dan motivasi masyarakat untuk turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

* Penulis adalah Mahasiswa S1 UMM dan Aktiv Di Center For Educational Reform Studies (CeRDAS)

PENYETARAAN GURU

on 20.08

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Isjoni
Saya Dekan di FKIP UNRI
Tanggal: 04 Nopember 2003
Judul Artikel: Penyetaraan Guru
Topik: Guru

PENYETARAAN GURU
Pemerintah daerah melalui program tugas dan izin belajar kepada para guru patut untuk terus ditumbuhkembangkan. Pemerintah Propinsi Riau salah satu pilar menyebutkan peningkatan sumber daya manusia, sebagai wujud dari pilar tersebut, pemerintah daerah memberikan perhatian khusus kepada para pendidik maupun birokrat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, katakanlah dari program S1 ke jenjang S2 maupun S3. Sebagai konsekuensi dari upaya peningkatan sumber daya manusia adalah tersedianya dana atau anggaran pendidikan.

Program tugas dan izin belajar hendaknya secara kontinuitas dilaksanakan, karena program ini akan berdampak terhadap peningkatan kualitas guru. Kualitas guru perlu diperhatikan pemerintah, guru yang berkualitas, maka akan menghasilkan sumber daya manusia bermutu, demikian pula sebaliknya bilamana guru tidak bermutu, maka akan menghasilkan anak didik tidak bermutu.

Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu guru, itu tadi, yakni memberi kesempatan kepada guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dahulunya pendidikan guru mayoritas lulusan SPG, KPG, dan sebagainya, mereka diberikan wewenang untuk mengajar pada tingkat Sekolah Dasar, sedangkan untuk tingkat SLTP adalah lulusan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLTP), demikian pula untuk tingkat SLTA adalah guru yang memiliki ijazah akademis setingkat Bachelor of Arts (BA).

Akan tetapi sejak tahun 1980, mulailah di kenal dengan Pendidikan Diploma I, II, III, dan Sarjana S1. Bagi lulusan Diploma D-I-D II diberikan wewenang untuk mengajar di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan bagi Diploma 3 dan Sarjana S1 diberikan kesempatan untuk mengajar tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Adanya kebijakan pemerintah, bahwa bagi guru-guru yang mengajar pada tingkat Sekolah Dasar dipersyaratkan untuk memperoleh ijazah D-II. Demikian pula untuk tingkat Sekolah Lanjutan Pertama setiap guru dipersyaratkan memiliki ijazah Diploma-III, dan bagi guru ditingkat SLTA dipersyaratkan memiliki ijazah akademis S1. Program inilah yang disebut dengan Penyetaraan Guru.

Otonomi Daerah telah memberikan kesempatan kepada daerah kabupaten dan kota untuk dapat menata rumahtangganya sendiri, termasuk di dalamnya sektor pendidikan. Dengan adanya kebijakan masing-masing daerah kabupaten dan kota untuk memberikan kesempatan kepada para guru untuk melanjutkan pendidikan, baik untuk tingkat Diploma II, diploma III dan S1 perlu disambut positif dan tentunya kita berharap agar program ini secara terus menerus dilakukan. Setiap tahunnya pemerintah daerah agar memprogram dan sudah menjadi agenda setiap tahunnya.

Kami melihat, bahwa motivasi kabupaten dan kota mengirimkan tenaga guru untuk dididik setiap tahunnya terus bertambah, baik untuk guru bidang studi umum maupun guru bidang studi pendidikan agama. Ini menunjukan bahwa pemerintah daerah sudah mulai memperhatikan sektor pendidikan, dan tentunya pemerintah daerah menyadari bahwa kualitas suatu daerah ditentukan sejauhmana tingkat kualitas pendidikan masyarakatnya, bila kualitas masyarakatnya tinggi, maka menunjukan perhatian pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan menjadi prioritas.

Oleh sebab itulah, pemeritah daerah perlu menyiapkan anggaran khusus kepada para guru yang memiliki motivasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pemerintah tidak akan rugi, bila guru-guru sudah memiliki ijazah akademis sesuai dengan yang dipersyaratkan, maka kita tetap optimis, mutu pendidikan akan meningkat.

Perlu diingat oleh para guru, bahwa pemerintah sudah mengeluarkan biaya, demikian pula bagi mereka yang sudah berkeluarga, rela meninggalkan sanak keluarga, demi pendidikan, dan tentunya dana yang diberikan pemerintah daerah mungkin tidak sebanding dengan pengeluaran selama ini. Itu adalah pengorbanan, oleh karena itu, para guru harus menyadari bahwa pendidikan itu mahal, dan tentu memerlukan pengorbanan baik moril maupun materil.

Bilamana para guru yang sudah menyelesaikan program pendidikan melalui tugas dan izin belajar, kiranya dapat memberikan nilai tambah bagi dirinya, sekolah, masyarakat dan pemerintah daerah. Para guru sudah memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan, barangkali sudah waktunya untuk melakukan pembenahan proses pembelajaran. Selama ini, mungkin kurang efektif, sehingga hasil belajar anak didiknya belum optimal, akan tetapi setelah menyelesaikan pendidikan diharapkan akan banyak perubahan baik penguasaan materi, keterampilan dalam metodologi pembelajaran, demikian pula keterampilan mengajar, dan lain sebagainya, sehingga hasil belajar anak didik lebih optimal.

Pemerintah berharap banyak kiranya para lulusan tugas dan izin belajar kembali ke daerah masing-masing, dan tentunya pemerintah daerah juga memberi kesempatan kepada para lulusan yang memperoleh nilai baik untuk dapat terus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi lulusan S1 agar dapat melanjutkan ke jenjang S2, baik di Riau maupun di luar Riau, dan tentunya pemerintah daerah tidak melakukan diskriminatif terhadap pemberian bantuan pendidikan.

Selanjutnya, bagi lulusan tugas dan izin belajar, kembali mengajar dan tentu lebih profesional, dan memiliki tanggungjawab moral untuk meningkatkan mutu baik terhadap proses pembelajarannya maupun output satuan pendidikannya. Perlu diingat, bahwa lulusan tugas dan izin belajar bila kembali ke daerah jangan terkesan minta fasilitas atau jabatan-jabatan tertentu. Karena hal ini bertentangan dengan hakiki dari tugas dan izin belajar guru itu sendiri. Layak kiranya kita bersyukur dan berterima kasih karena kita diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dan memperoleh wawasan luas dan sekaligus mendapatkan sertifikat akademis sebagai salah satu bentuk prestise dalam berkarir. Semoga.
Saya Isjoni setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

TAHUN 2020 INDONESIA KEHABISAN GURU

on 19.53

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Mochammad Asyhar
Saya Mahasiswa di Depok
Tanggal: 04/11/2002
Judul Artikel: Tahun 2020 Indonesia Kehabisan Guru
Topik: Kebijakan Pendidika
n

Artikel:

Hari-hari terakhir ini sedang gencar ditayangkan dua iklan layanan masyarakat di setasiun-stasiun televisi, baik TVRI maupun stasiun televisi swasta. Iklan yang satu berisi pesan tentang anak asuh dan yang lain melukiskan kekurangan guru di negeri kita tercinta ini. Walaupun hanya berdurasi beberapa detik, kedua iklan ini cukup mengundang perhatian, terutama iklan yang disebutkan terakhir.

Kekurangan guru. Sungguh sebuah realitas potret pendidikan kita (salah satu sisi) yang sangat menyedihkan. Betapa tidak, pendidikan adalah modal utama terciptanya kemajuan peradaban sebuah bangsa. Di pihak lain, guru sebagai tenaga profesional di bidang ini justru jumlahnya semakin langka.

Lalu, apa jadinya jika pada tahun-tahun mendatang tidak mudah dijumpai sosok guru? Barangkali Anda semua sudah tahu jawabannya. Sudah pasti peradapan kebudayaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini semakin parah daripada kondisi sekarang. Mengapa sampai terjadi kondisi seperti ini?

KILAS BALIK
Keadaan pendidikan seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya tentu tidak terjadi bagitu saja. Hal itu pasti ada pemicunya. Penyebab kekeurangan guru yang akan saya paparkan di sini bukan berasal dari hasil penelitian mendalam, tetapi sekadar pengamatan sekilas dan dugaan. Penyebab penurunan jumlah sumber daya manusia (SDM), dalam hal ini guru, akhir-akhir adalah ditutupnya lembaga-lembaga pendidikan keguruan.

Pada paruh pertama tahun 1990-an semua Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Pendidikan Guru Agama (PGA) ditutup. Penutupan lembaga pendidikan tersebut beralasan bahwa jenjang pendidikan dasar sudah tidak layak lagi diajar oleh guru-guru tamatan SPG yang notabene hanya berjenjang pendidikan menengah. Sebagai gantinya dibukalah Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Selain itu, sebelum penutupan lembaga-lembaga pendidikan keguruan itu didahului dengan lahirnya sebuah kebijakan yang menetapkan bahwa lulusan SPG tidak otomatis atau langsung diangkat sebagai pegawai negeri, kecualai beberapa orang siswa berprestasi pada tiap angkatan. Akibatnya, banyak lulusan SPG yang beralih ke profesi lain, misalnya pekerja pabrik atau tambak. Fakta seperti ini sangat disayangkan karena para siswa SPG adalah siswa pilihan. Lulusan SLTP yang dapat diterima di SPG adalah siswa yang mempunyai NEM minimum 42,00 dan harus melalui ujian saringan yang bertahap-tahap. Hal itu menunjukkan bahwa yang dapat d iterima di SPG adalah manusia-manusia cerdas dan pilihan. Jadi, mereka sebenarnya adalah tenaga-tenaga potensial.

Berikutnya, menjelang akhir tahun 2000, semua IKIP di Indonesia berubah menjadi universitas meskipun masih ada beberapa STKIP dan FKIP di universitas-universitas. Perubahan status ini tentunya diikuti juga perubahan visi dan misi. Semula berstatus Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK)sebagai pencetak tenaga-tenaga pendidik profesional berubah menjadi universitas yang mencetak sarjana-sarjana ilmu murni. Barangkali kebijakan ini bertujuan untuk mencapai target sarjana-sarjana andal di bidang IPTEK dalam rangka menyongsong lahirnya Negara Indonesia sebagai negara maju berbasis teknologi. Obsesi seperti ini sangat bagus. Akan tetapi, penyakit latah bangsa Indonesia ini sukar sekali hilang. Artinya, pada waktu kibijakan perubahan status IKIP menjadi universitas itu disetujui, seharusnya beberapa IKIP di Jawa, Sumatera dan Sulawesi yang sudah berkualitas tetap dipertahankan. Dengan demikian, jumlah guru nantinya tetap tercukupi karena sampai kapan pun sektor pendidikan di sebu ah bangsa tidak akan ditutup. Hal itu berarti bahwa sampai kapan pun tenaga guru masih dibutuhkan.

APA SOLUSINYA
Kekurangan guru, seperti diilustrasikan dalam iklan layanan masyarakat di televisi, baru terjadi pada jenjang pendidikan dasar. Apabila diamati, fenomena ini cukup realistis menggingat penutupan SPG dan PGA sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Lulusan PGSD pun tidak semuanya dapat diterima sebagai pegawai negeri. Sementara itu, pada jenjang pendidikan menengah fenomena kekurangan guru masih belum terasakan. Hal itu wajar karena penutupan IKIP-IKIP baru dua tiga tahun terakhir. BISAKAH ANDA BAYANGKAN PADA TAHUN 2020 MENDATANG?

Untuk mengatasi persoalan kekurangan guru pada jenjang pendidikan dasar, barangkali buah pikiran saya ini dapat dijadikan bahan diskusi. Setelah kebijakan yang menghentikan pengangkatan tenaga guru sekolah dasar (SD), banyak lulusan SPG atau PGA beralih profesi ke bidang lain. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi mengingat mereka adalah tenaga-tenaga pilihan. Ditambah lagi oleh sistem penerimaan mahasiswa PGSD. Dari awal dibukanya, PGSD menerima mahasiswa dari lulusan SMA. Materi soal tesnya pun disesuaikan dengan standar pengajaran di SLTA umum. Tentu saja hal ini merupakan kendala bagi lulusan SPG atau PGA untuk bersaing dengan lulusan SMA karena materi yang diajarkan di SLTA umum dan kejuruan sudah barang tentu berbeda. Akhirnya, para lulusasan SPG jarang yang diterima.

Pada saat perekrutan mahasiswa PGSD seharusnya yang diutamakan terlebih dahulu adalah lulusan SPG atau PGA. Baru kemudian setelah semua lulusan SPG atau PGA ini sudah habis, perekrutan dibuka untuk lulusan SMA.

Akhirnya, untuk mengatasi persoalan kekurangan guru SD, mengapa tidak dicoba untuk memanggil kembali lulusan SPG dan PGA yang belum sempat diterima sebagai guru negeri? Beri mereka beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di PGSD atau STKIP. Setelah lulus langsung diangkat sebagai tenaga guru negeri.

Saya Mochammad Asyhar setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

PENDIDIKAN BERBASIS HATI NURANI

on 03.41

Oleh Iwan Triyuwono

Isu-isu terkini, seperti ujian nasional (unas) yang mekanis dan tidak manusiawi, para petinggi yang korup, para siswa yang hobi tawuran, tentara dan polisi yang juga tawuran, pemeluk agama yang anarkis, artis yang setengah bugil, dan pengusaha yang eksploitatif, sebetulnya tidak lain adalah cermin bopeng hasil pendidikan kita selama ini.

Bagaimanapun, mereka semua adalah produk akhir dari proses pendidikan. Sungguh itu merupakan keadaan yang sangat memprihatinkan. Betapa tidak, sistem pendidikan kita hanya menciptakan noda-noda hitam pada manusia Indonesia. Hal itu terjadi karena pendidikan terlalu mengedepankan pikiran (mind) praktis ketimbang rasa dan batin.

Pendidikan demikian itulah yang menyebabkan keterpurukan kehidupan kita saat ini. Bangsa menjadi terpuruk karena setiap orang berpikiran bahwa pikiran bisa mengatasi segala persoalan hidup.

Padahal, sebetulnya pikiran memiliki kekuatan yang sangat terbatas, tetapi digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang begitu kompleks. Kelemahannya terletak terutama pada ketidakmampuannya memahami realitas secara utuh.

Sebagaimana yang ditengarai Derrida, pikiran hanya menciptakan kesenjangan (gap) antara realitas dan apa yang dipersepsikan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk simbol berupa kata, kalimat, atau teori. Celakanya, kita telah salah kaprah menganggap bahwa kebenaran pikiran itu mutlak. Seolah-olah tidak ada lagi kebenaran di luar pikiran.

Tercerabut dari Budaya

Keyakinan penuh pada kebenaran pikiran menuntun seseorang untuk percaya secara meyakinkan akan kebenaran teori atau ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Masalah ekonomi diselesaikan dengan teori-teori ekonomi yang sebetulnya lahir di luar budaya lokal kita.

Sebagai contoh, untuk menyelamatkan devisa atau anggaran negara karena harga bahan bakar minyak (BBM) dunia naik hingga USD 120,00/barel, para ekonom cukup memberikan solusi menaikkan harga BBM. Teori ekonomi secara sederhana menjelaskan begitu.

Sederhananya, agar anggaran tidak defisit, cukup naikkan pendapatan dari sumber yang murah, mudah, dan cepat diperoleh. Itulah solusi yang ditawarkan ekonom. Begitu sederhana dan mekanis! Solusi tersebut tidak memperhitungkan hal lain di luar aspek ekonomi.

Teori ekonomi yang digunakan tidak memperhatikan aspek sosial, budaya, dan nilai-nilai lokal karena klaimnya yang bebas nilai (value-free). Solusi tersebut bukannya menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah-masalah sosial yang lebih kompleks daripada masalah ekonomi itu sendiri.

Contoh lain adalah sistem ujian nasional (unas) yang sedang dilaksanakan saat ini. Pemerintah mengambil cara yang begitu praktis (dan cenderung tidak bertanggung jawab). Untuk menjaga kualitas, cukup lakukan kontrol pada akhir proses dengan menetapkan beberapa indikator (mata pelajaran) untuk menetapkan kualitas pendidikan.

Sungguh itu adalah teori kualitas yang begitu naif. Sangat tidak mungkin jika kualitas sistem pendidikan hanya dilihat dari produk akhirnya, tanpa memperhatikan proses dan infrastrukturnya sejak awal.

Akibatnya, bukan kualitas baik yang diperoleh, tetapi justru timbul masalah-masalah baru, seperti kewenangan guru untuk mendidik menjadi hilang, berubahnya sekolah menjadi hanya berfungsi semacam lembaga kursus, perilaku guru dan siswa yang menyimpang, dan hilangnya makna pendidikan dalam masyarakat.

Guru dan siswa menjadi asing dengan dirinya sendiri dan lingkungannya. Guru tidak bisa mengendalikan siswanya yang tawuran. Guru tidak lagi dapat mengendalikan siswanya ketika saat dewasa menjadi petinggi yang korup. Guru tidak bisa lagi mengendalikan tentara dan polisi tawuran yang dulu adalah mantan muridnya.

Itulah kenyataan yang ada sekarang, pendidikan yang hanya mengandalkan pikiran praktis. Pendidikan yang tidak mampu mengasah ketajaman rasa (feelings) dan hati nurani (God-spot). Wajar saja produk yang dihasilkan dengan sistem seperti itu hanya berupa manusia yang mati rasa dan buta hati nuraninya.

Berbasis Hati Nurani

Sekali lagi, pikiran memiliki kemampuan yang sangat terbatas. Pikiran selalu menghalangi hadirnya kekuatan rasa yang dipancarkan hati nurani. Hati nurani itu tidak lain adalah percikan Tuhan (God-spot) yang ada dalam diri setiap orang. Hati nurani yang hidup dan aktif akan mencerahkan pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang. Dengan kata lain, Tuhan selalu membimbing pikiran, perkataan, dan tindakan orang tersebut.

Secara ideal, sistem pendidikan kita mestinya berbasis pada hati nurani. Itu bukan berarti menegasikan kompetensi lain yang berhubungan dengan kebutuhan nyata dunia bisnis atau kehidupan sehari-hari.

Tetapi sebaliknya, dengan sistem tersebut, kita meletakkan roh ideal dan universal sebagai substansi (substance) kepribadian anak didik. Sementara itu, bentuknya (form) selalu fleksibel dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan nyata masyarakat.

Pendidikan berbasis hati nurani tersebut sama sekali bukan pendidikan yang mengajarkan konsep hati nurani. Tetapi sebaliknya, memang benar-benar pendidikan yang melatih hati nurani menjadi hidup dan aktif secara nyata dengan cara meditasi dan interaksi sosial. Praktik meditasi perlu dilakukan untuk membersihkan hati dan mengaktifkan hati nurani.

Latihan-latihan itu biasanya dilakukan secara individual. Latihan dalam bentuk interaksi sosial dilakukan dalam rangka membuat hati nurani menjadi aktif dan terbiasa dengan kehidupan sehari-hari.

Dengan hidupnya hati nurani, secara otomatis pikiran menjadi tercerahkan. Pikiran dan tindakan terkendali hati nurani. Nafsu juga berada dalam kendali hati nurani, yaitu nafsu yang tercerahkan.

Jadi, dengan pendidikan berbasis hati nurani itu, pikiran dan nafsu tetap ada sebagai fitrah yang melekat pada diri manusia. Namun, yang perlu diperhatikan di sini adalah pikiran dan nafsu tadi telah dicerahkan.

Dengan sistem pendidikan semacam itu, manusia tetap bersifat manusiawi dan sekaligus bersifat ilahiyat. Artinya, sistem pendidikan tersebut adalah sistem yang mencerahkan. Sistem yang dapat menciptakan insan kamil- manusia sempurna.

Karena itu, agar kondisi bangsa ini menjadi lebih baik, terhormat di muka bangsa lain, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam, benahi sistem pendidikan nasional ini sekarang juga!

Iwan Triyuwono, guru besar akuntansi syariah Universitas Brawijaya, Malang. (Jawa Pos Online)

REFORMASI PENDIDIKAN : BELAJARA DARI JEPANG

on 03.29

Oleh Meta Sekar Puji Astuti

Titik balik sejarah reformasi pendidikan di Jepang dapat ditilik sejak 140 tahun lalu di era yang dikenal Restorasi Meiji (1868-1912). Reformasi pendidikan merupakan salah satu agenda utama modernisasi negara Jepang.

Sebagai awal modernisasi, Jepang membentuk beberapa misi khusus yang dikirim ke luar negeri. Misi-misi ini mengunjungi beberapa negara di Eropa, Amerika Serikat, dan juga Asia. Para pemimpin Jepang ini yang kebanyakan dari golongan samurai, pergi mempelajari peradaban Barat termasuk sistem pendidikannya.

Tak dimungkiri lagi reformasi pendidikan di Jepang merupakan salah satu kunci keberhasilan negara ini baik di bidang ekonomi, teknologi, dan industri. Negara jiran kita, Malaysia, di era PM Mahathir Muhammad melalui kebijakan Look to East pada 1980-an secara terang-terangan mengaku mengadaptasi model sistem pendidikan Jepang.

Topik dan isu pendidikan Jepang telah banyak mengundang perhatian peneliti Barat dan Jepang sendiri. G Sougen Victor Hori dan Thomas Rohlen (2006) menyatakan bahwa sistem pendidikan Jepang unik karena proses sejarah akulturasi yang panjang. Proses ini menghasilkan semangat spiritualisme kuno Jepang termasuk adaptasi budaya kuno (Buddha dan Confucianism) dari Cina.

Kenyataannya, belum banyak ahli pendidikan di Indonesia memberi perhatian khusus untuk meneliti reformasi pendidikan Jepang. Timbul sebuah pertanyaan, apakah proses dan sejarah reformasi pendidikan Jepang dapat menginspirasi reformasi pendidikan di Indonesia?

Perubahan radikal
Gerakan reformasi Indonesia telah dilakukan sejak 10 tahun yang lalu. Tapi agenda reformasi, khususnya di bidang pendidikan, tampak masih berjalan terseok-seok. Masih banyak agenda reformasi pendidikan yang belum terselesaikan.

Belum ada gerakan radikal yang berkelanjutan dilakukan pemerintah Indonesia. Reformasi pendidikan pada masa awal modern Jepang sudah dilakukan secara radikal (Okano dan Tsuchiya, 2003). Awalnya, reformasi pendidikan dilakukan untuk mengubah sistem sekolah tradisional (terakoya) ke sistem modern.

Sekolah yang awalnya hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan (samurai) diubah menjadi sistem pendidikan modern yang demokratis dan bagi semua golongan. Sistem pendidikan sempat dipolitisasi untuk mendukung gerakan nasionalisme dan militerisme negara pada masa perang.

Pascaperang (setelah 1945), melalui pengaruh pemikiran kolonial Amerika Serikat, reformasi pendidikan fokus ke pengembangan individu untuk industrialisasi negara. Tahun 1960-an kebijakan pelaksanaan ujian nasional (UN) juga pernah menjadi isu besar di Jepang. Dimotori oleh Serikat Guru Jepang (Nikkyouso) pemerintah dikritik habis dalam pelaksanaan ujian ala Jepang ini.

Setelah terjadi konflik berkepanjangan antara pemerintah dan nikkyouso serta gerakan masyarakat di tingkat akar rumput, tahun 1969 kebijakan UN dihapus. Pada 1980-an reformasi pendidikan menjadi isu nasional ketika PM Yasuhiro Nakasone menghapus kebijakan pengaruh kolonial Amerika yang dianggap tidak sesuai lagi.

Melalui reformasi ini pendidikan lebih fokus untuk pembentukan identitas diri masyarakat Jepang sesuai pribadi asli bangsa Jepang. Mulai 1990 reformasi pendidikan menghasilkan kebijakan yang mendukung pengembangan lifelong learning. Pada 1886 Arinori Mori, menteri pendidikan pertama di Jepang, memisahkan antara institusi untuk studi akademis (gakumon) dan pendidikan (secara umum) atau kyouiku. Meski sistem ini dihapus pada 1945, pada praktiknya komponen gakumon dan kyouiku tetap ada di kurikulum sekolah modern.

Menurut kajian para peneliti, pendidikan Jepang lebih menekankan moral dan spiritual (Hori; Rohlen, 2006) dan soft-skill (termasuk kyouiku). Pendidikan Barat dianggap cenderung lebih menitikberatkan pengembangan kognitif.

Dari fakta yang ada hasil pencapaian tes internasional matematika dan sains murid-murid di Jepang selalu menunjukkan angka tertinggi (Lynn, 1988; NCES, 2003). Richard Lynn, pakar psikologi dari University of Ulster, Inggris, dalam bukunya yang berjudul Educational Achievement in Japan: Lessons for the West menyarankan dunia Barat perlu belajar dari sistem pendidikan Jepang. Para peneliti rata-rata juga menyatakan bahwa spiritualisme (moral), pengembangan pribadi seutuhnya, sistem pendidikan yang efisien dan disempurnakan (kaizen) merupakan beberapa kunci keberhasilan pendidikan Jepang.

Pendidikan berpihak rakyat
Yukichi Fukuzawa, seorang pembaharu modernisasi Jepang (potret dirinya terdapat di kertas nominal tertinggi, 10 ribu yen), dikenal juga sebagai tokoh pendidikan dan penulis yang sangat produktif pada masanya. Dulu sebelum memublikasikan artikel atau tulisannya ia berikan kepada pembantunya. Bila pembantunya dianggap telah mengerti tulisannya maka tulisan tersebut layak diterbitkan.

Prinsipnya, hasil karya tulisannya harus dapat dipahami oleh semua kalangan. Melihat kebijakan-kebijakan Jepang di bidang pendidikan bisa dikatakan reformasi pendidikan di Jepang dimaksudkan untuk kepentingan seluruh rakyat bukan golongan tertentu. Bagaimana dengan Indonesia?

Setidaknya Indonesia dapat belajar dua hal dari proses reformasi pendidikan Jepang. Pertama, reformasi pendidikan di Jepang dimulai perubahan pola berpikir (mind-set) pemimpin Jepang. Mempelajari model-model baru dan berani membuat langkah kebijakan radikal untuk berubah. Kedua, kebijakan pemerintah Jepang dalam bidang pendidikan dilakukan secara serius, berkelanjutan, dan terus disempurnakan.

Tidak ada gading yang tak retak. Sistem pendidikan Jepang pun juga memiliki beberapa sisi negatif (Lynn, 1988; Okano dan Tsuchiya, 2003). Namun, ada pepatah Jepang yang mengatakan mane wa manabu atau meniru adalah belajar. Indonesia pun dapat belajar dengan meniru dari pengalaman Jepang. Siapa takut?

Meta Sekar Puji Astuti, Ketua Unit Kajian Kebudayaan Jepang Unhas. [Republika Online]

PENDIDIKAN DAN RISET

on 03.26

Oleh Yansen
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, sedang studi doktor di Australia

Comstech (Committee on Scientific and Technological Cooperation) baru-baru ini mengeluarkan Wise Index of Leading Scientists and Engineer. Ini sebuah daftar yang memuat nama para ilmuwan dan akademisi terdepan di berbagai bidang dari negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Seperti namanya, lembaga yang berpusat di Islamabad ini bertujuan meningkatkan promosi serta kerja sama sains dan teknologi antara ilmuwan negara-negara anggota OKI. Indeks ini didapatkan terutama dari citation index, yakni seberapa tinggi hasil penelitian ilmuwan yang bersangkutan dirujuk oleh peneliti-peneliti lain. Tentu saja indeks ini meningkat dengan semakin banyaknya publikasi yang dilakukan oleh sang peneliti.

Indonesia menyumbang enam ilmuwan dalam daftar ini, tiga di bidang fisika, dua medis, dan satu ilmu kimia. Masuknya enam ilmuwan Indonesia dalam daftar ini sangat membanggakan, sekaligus juga menyedihkan. Ini seperti oase di tengah gurun. Dalam impitan permasalahan dunia pendidikan yang seakan tak berujung, masih ada akademisi negeri ini yang mampu menyodok papan atas ilmuwan dunia, setidaknya ilmuwan dari negara-negara Islam.

Namun, angka enam adalah angka yang menyedihkan. Kalau kita menengok ke Asia daratan, Bangladesh mampu memasukkan lebih banyak sarjana mereka dalam daftar itu. Tak perlu jauh-jauh, 27 orang akademisi Malaysia masuk dalam daftar ini. Apalagi jika dibandingkan dengan Pakistan yang menyumbang sangat banyak sarjananya.Lalu, apakah ilmuwan dan universitas-universitas negeri ini tidak berkualitas? Sebenarnya Indonesia tak kekurangan orang pintar. Namun, jika universitas-universitas di negeri ini tak menghasilkan para pemikir dan peneliti kelas dunia, di manakah masalahnya?

Jawaban klasik yang akan terdengar adalah kurangnya fasilitas dan sarana penunjang. Ini mungkin betul. Tapi, apakah semua penelitian membutuhkan fasilitas canggih dan mahal? Saya pikir tentu saja tidak. Sebagai bahan perbandingan, pengalaman bersekolah di Australia, penulis menemukan banyak staf peneliti yang merancang alat-alat penelitian mereka sendiri.

Lalu, apakah penyebab utamanya para peneliti Indonesia seakan-akan tenggelam? Mungkin banyak hal, tapi ada satu hal yang menurut saya penting dan harus ditanggulangi. Permasalahan itu adalah diseminasi dan komunikasi hasil penelitian. Jika kita melihat dari indeks yang dikeluarkan oleh Comstech tadi, maka jelas nama-nama itu muncul berkat publikasi mereka di jurnal-jurnal ilmiah berskala internasional. Di sinilah letak pokok hambatannya, sedikit sekali peneliti Indonesia yang memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal berskala internasional.

Lalu mengapa demikian, apakah penelitian para sarjana kita tidak berkualitas? Tidak juga. Sangat banyak penelitian berkualitas yang dilakukan peneliti-peneliti kita. Masalahnya, banyak dari mereka yang tidak percaya diri untuk memublikasikan hasil temuannya di dunia internasional. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala.

Kendala pertama adalah bahasa. Semua jurnal berskala internasional saat ini berbahasa Inggris. Karena itu, kemampuan bahasa Inggris menjadi prasyarat wajib. Tapi, masalah ini sebenarnya dapat diatasi dengan menggunakan jasa penerjemah profesional ataupun riset bersama-sama dengan orang yang bisa berbahasa Inggris.Kendala kedua yang lebih penting adalah kurangnya referensi. Dunia penelitian adalah dunia bersambung. Merujuk kepada penelitian-penelitian sebelumnya merupakan hal yang tak terhindari.

Bisa dihitung dengan jari universitas di Indonesia yang berlangganan jurnal internasional. Hasilnya, para peneliti kita tak mampu mengikuti perkembangan pengetahuan di bidang mereka. Di level nasional saja, hasil-hasil penelitian yang ada pun tak terdiseminasi secara baik dan luas. Jurnal ilmiah sangat kurang jumlahnya. Bahkan, ada kecenderungan menulis di jurnal ilmiah sekadar sarana mendapatkan angka kredit bagi peneliti yang berstatus pegawai fungsional.

Tidak ada keinginan saling berbagi informasi tentang penelitian. Bahkan hingga kini tak ada satu pun jurnal ilmiah berbasis di Indonesia yang berskala internasional.Ini kemudian berujung pada hal buruk lainnya: penjiplakan dan repetisi. Penjiplakan ide atau penelitian menjadi barang lumrah karena penelitian yang sudah ada tak terpublikasi secara baik. Penelitian pun sering kali bersifat berulang-ulang karena para ilmuwan di bidang yang sama tak mengetahui apa yang sedang dikerjakan oleh koleganya dari wilayah Indonesia yang lain. Akibatnya, banyak penelitian yang dihasilkan tak bisa diverifikasi. Padahal, verifikasi adalah satu dari tiga kaki pokok keilmuan yang bersifat logiko-hipotetiko-verifikatif.

Anggaran pendidikan 2009 yang mencapai Rp 200 triliun jangan disia-siakan. Ini bukanlah angka yang kecil. Jika tak mampu menjadi fondasi perbaikan dunia pendidikan tentu sangat mengecewakan. Anggaran ini harus tepat guna dan menyelesaikan masalah-masalah pokok pendidikan, termasuk riset. Dalam konteks dunia riset, Ditjen Pendidikan Tinggi sudah menggelontorkan dana-dana penelitian yang bersifat hibah kompetisi ke universitas-universitas. Hibah-hibah dalam berbagai skala dan level ini sangat membantu para akademisi melakukan penelitian-penelitian.

Hal ini sudah berjalan baik walaupun mungkin perlu perbaikan di sana-sini. Namun, seperti yang diungkapkan di atas, inisiatif untuk diseminasi hasil masih menjadi masalah. Makanya, menurut saya harus ada langkah konkret mengatasi ini. Ada dua hal yang dapat dilakukan.Pertama, anggaran pendidikan yang besar ini harus mampu memfasilitasi penyebaran hasil penelitian dalam jurnal-jurnal nasional ke seluruh universitas di Indonesia. Teknologi internet tentunya semakin mempermudah usaha ini.

Inisiatif ini akan membuat komunikasi penelitian sesama peneliti akan berkembang. Dikti juga harus mampu mendorong jurnal-jurnal prospektif untuk berkembang menjadi jurnal skala internasional.Kedua, anggaran pendidikan yang ditujukan untuk pengembangan koleksi referensi harus diperbesar. Pengisian perpustakaan di universitas-universitas dengan buku-buku mutakhir harus diprioritaskan.

Insentif untuk membantu lembaga pendidikan berlangganan jurnal internasional harus diberikan. Saat ini ada banyak layanan databases yang menyediakan akses ke ratusan jurnal internasional dalam pelbagai bidang dan dapat diakses secara online.

Mengusahakan universitas-universitas di Indonesia berlangganan databases ini akan memberikan fondasi kuat meningkatkan dunia penelitian di Indonesia. Jika dilakukan, yakinlah ini dapat menjadi tapak baru dalam cita-cita menjadikan universitas di negeri ini sebagai centre of excellence. Pada ujungnya kita dapat pelan-pelan bangkit dari keterpurukan dan menjadi bangsa besar di dunia.

Ikhtisar:
- Sangat sedikit peneliti Indonesia yang memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal internasional.
- Banyak peneliti tidak percaya diri untuk menerbitkan hasil temuan di dunia internasional.
- Perlu insentif agar lembaga pendidikan bisa berlangganan jurnal internasional.

[Republika Online]

PENGALAMAN BURUK ANGGARAN PENDIDIKAN

on 03.23

Oleh Prof Dr H Ki Supriyoko
Pamong Tamansiswa, Pengasuh Pesantren Ar-Raudhah Yogyakarta

“Bahwa ternyata anggaran pendidikan dalam UU APBN-P 2008 hanya sebesar 15,6 persen sehingga tidak memenuhi ketentuan konstitusional sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Dengan demikian, UU APBN-P 2008 bertentangan dengan UUD 1945”. Demikian konklusi Butir (4.2) dalam Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No13/PUU-VI/2008 tertanggal 13 Agustus 2008.

Baru saja MK mengabulkan permohonan PGRI untuk mengadakan uji materi terhadap UU APBN-P 2008. Setelah melalui proses konstitusional yang cukup panjang akhirnya disimpulkan bahwa UU APBN-P 2008 bertentangan dengan UUD 1945.

Atas kenyataan tersebut di atas maka MK meminta kepada pemerintah supaya mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Permintaan ini disertai dengan batasan waktu, yaitu pada 2009. Artinya, dalam APBN 2009 diminta anggaran pendidikan sudah mencapai angka 20 persen.

Kebiasaan melanggar
Apakah putusan dan permintaan MK tersebut memberikan jaminan akan dicapainya anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN? Rasanya tidak! Putusan dan permintaan MK tersebut diibaratkan sebagai anjing menggonggong, tetapi tidak menggigit.

Kalau kita jujur, putusan dan permintaan MK seperti itu bukan yang pertama. Artinya, pada sebelumnya MK pernah membuat putusan dan permintaan serupa. Dua atau tiga tahun lalu MK pun pernah meminta pemerintah sesegera mungkin dapat mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai dengan ketentuan UU, dalam hal ini UU Sisdiknas dan UUD 1945.

Sepertinya putusan dan permintaan MK tersebut diabaikan oleh pemerintah sehingga sampai sekarang ini anggaran pendidikan kita tidak pernah mencapai angka 20 persen dari APBN. Bukan itu saja, lima tahun lalu atau tepatnya 8 Juli 2003 Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengesahkan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pasal 49 ayat (1) UU ini secara jelas menyebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.

Meskipun ketentuan ini terpajang eksplisit dalam UU, tetapi sampai sekarang besaran anggaran pendidikan kita tidak pernah mencapai angka 20 persen. Hal itu berarti pemerintah sudah melanggar UU yang kita buat sendiri.

Bagaimanakah dengan UUD? Sama saja! Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menyatakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Meskipun ketentuan ini terpajang eksplisit dalam UUD, tetapi sampai sekarang besaran anggaran pendidikan kita tidak pernah mencapai angka 20 persen. Hal itu berarti pemerintah sudah melanggar UUD yang amendemennya kita buat sendiri.

Dari dua ilustrasi konkret tersebut terkesan bahwa kita punya kebiasaan yang tidak konstruktif, yaitu kebiasaan melanggar ketentuan perundangan, baik UU maupun UUD. Kalau ditelusuri lebih jauh lagi ternyata kebiasaan melanggar itu sudah dimulai sejak Orde Baru.

Kalau kita ingat sesungguhnya besarnya anggaran pendidikan di negara kita pernah diatur pula di dalam ketetapan MPR/MPRS, dalam hal ini adalah Tap MPRS No II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 dan Tap MPRS No XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan. Dalam Tap MPRS No II/MPRS/1960 Pasal 9, Butir 1, Lampiran CI dinyatakan bahwa anggaran pendidikan kita mencapai angka 25 persen dari anggaran belanja negara, sementara itu dalam Tap MPRS No XXVII /MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan Pasal 6 secara eksplisit disebutkan bahwa sesuai dengan Ketetapan MPRS No II/MPRS /1960 Lampiran CI No 1, supaya Anggaran Belanja Negara untuk bidang pendidikan yang berjumlah 25 persen dilaksanakan.

Kesimpulannya, kalau sampai sekarang anggaran kita tidak atau belum pernah mencapai angka 20 persen dari APBN, apalagi 25 persen, hal itu berarti pemerintah kita pun tidak mematuhi substansi yang diamanatkan dalam ketetapan MPR(S).

Janji Presiden SBY
Terlepas dari putusan dan permintaan MK tersebut ada sesuatu yang menarik untuk kita cermati, yaitu adanya pernyataan atau semacam janji Presiden untuk memenuhi besaran anggaran pendidikan. Pada pidato kenegaraan dan keterangan pemerintah atas rancangan undang-undang tentang APBN 2009 beserta nota keuangannya di depan rapat paripurna DPR RI tanggal 15 Agustus lalu Presiden SBY menyatakan pemerintah akan memenuhi besaran anggaran pendidikan 20 persen dari APBN.

Pernyataan memenuhi besaran anggaran pendidikan ini sama sekali tidak dikaitkan dengan putusan dan permintaan MK yang dibuat dua hari sebelumnya. Terlepas dari ada atau tidak ada kaitannya dengan kampanye pemilihan umum 2009 nanti, janji Presiden SBY tersebut sangat positif, sudah tentu kalau dapat dilaksanakan.

Kalau janji ini dapat dilaksanakan maka pengalaman buruk anggaran pendidikan akan dapat segera diakhiri. Yang lebih penting, kenaikan nilai relatif dan nilai mutlak anggaran pendidikan dapat digunakan untuk memantapkan kinerja pendidikan nasional yang selama ini masih belum membanggakan.[Republika Online]

MENIRU KEHEBATAN EKSTRAKULIKULER DI JEPANG

on 03.20

Oleh Tuswadi Koesnadi

Hampir semua sekolah menengah (SLTP dan SLTA) di tanah air memiliki kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan selepas jam pelajaran itu menawarkan sejumlah pelatihan sesuai bakat dan minat siswa, seperti KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), Pramuka, PMR (Palang Merah Remaja), English Club, Pecinta Alam, dan olahraga. Misalnya sepak bola, bola basket, bola voli, tenis, pencak silat, dan renang.

Ekstrakurikuler biasanya dilaksanakan satu kali seminggu selama satu setengah sampai dua jam. Di antara sekian banyak jenisnya, Pramuka sering diwajibkan bagi siswa kelas VII dan X. Selebihnya bersifat pilihan dan siswa boleh mengikuti lebih dari dua kegiatan ekstrakurikuler.

Pelatih atau tenaga pengajar ekstrakurikuler kebanyakan guru sekolah yang bersangkutan. Sekolah yang mampu biasanya mendatangkan pelatih profesional dari luar.

Potensi kegiatan ekstrakurikuler untuk mencetak generasi bertalenta di bidangnya sangatlah besar. Ini jika ekstrakurikuler ditangani dengan baik dan profesional oleh pihak sekolah. Dengan kata lain, ekstrakurikuler bukan sekadar kegiatan pengisi waktu luang atau rutinitas semata.

Di Jepang, ekstrakurikuler diputuskan oleh pihak sekolah sama pentingnya dengan program intrakurikuler. Dari sini akan diketahui bakat, minat, dan kemampuan siswa yang jika mendapat penanganan serius dari pihak sekolah bisa mencetak generasi terampil, termasuk atlet-atlet beken di masa mendatang.

Merujuk pada apa yang dilakukan sekolah-sekolah Negeri Sakura itu, ada sejumlah smart tips bagi pihak sekolah yang berkomitmen kuat untuk memberdayakan ekstrakurikuler agar membuahkan hasil luar biasa.

Pertama, pihak sekolah mempunyai dana memadai untuk melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler. Jumlah dana itu tentu saja disesuaikan dengan jumlah ekstrakurikuler yang dibuka dan pelatih yang akan didatangkan. Di awal tahun pelajaran penyusunan RAPBS wajib memperhatikan ketersediaan dana ekstrakurikuler.

Kedua, fasilitas dan alat penunjang latihan wajib dicukupi. Jangan sampai terdapat sepuluh siswa mengikuti ekstrakurikuler seni petik gitar, sementara gitar yang tersedia hanya satu atau duah buah. Itu pun sudah rusak.

Ketiga, sejak awal pihak sekolah mencari tahu bakat, minat, dan kemampuan masing-masing siswa. Guru BK bekerjasama dengan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan bisa melakukan berbagai macam cara cerdas untuk mengetahui talenta siswa.

Jika bakat dasar anak didik sudah diketahui, pihak sekolah mengarahkan siswa agar memilih salah satu ekstrakurikuler yang disukai sesuai bakat dan minatnya. Agar fokus, seorang siswa diharapkan hanya mengikuti satu jenis ekstrakurikuler. Pembatasan jumlah siswa dalam sebuah kelompok ekstrakurikuler juga penting agar setiap siswa mendapat perhatian yang cukup dari pelatih. Di samping itu, perlu adanya motivation training di kalangan siswa mengenai kegiatan ekstrakurikuler yang akan diikuti.

Berikutnya, pihak sekolah menyusun kurikulum atau silabus kegiatan ekstrakurikuler agar jelas tujuan, proses, target, dan evaluasinya. Tanpa adanya silabus, kegiatan ekstrakurikuler akan berjalan seadanya. Sangat memungkinkan bagi sebuah sekolah untuk melakukan studi banding ke sekolah-sekolah tersohor yang terbukti mempunyai ekstrakurikuler bagus.

Selanjutnya, perekrutan tenaga pelatih harus benar-benar selektif. Jika menginginkan hasil terbaik, tidak ada istilah pemerataan tugas guru untuk mengelola ekstrakurikuler. Hanya mereka yang benar-benar memiliki latar belakang dan kemampuan di masing-masing bidang yang dapat menjadi pelatih. Atau, pihak sekolah lebih baik mendatangkan pelatih profesional dari luar meski harus membayar lebih. Sementara guru bisa diaktifkan sebagai pengawas latihan.

Keenam, proses yang baik merupakan awal keberhasilan. Siswa berpotensi di bawah asuhan pelatih yang mumpuni akan sangat mudah berhasil jika proses kegiatan ekstrakurikuler berjalan menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan. Dengan demikian, kedisiplinan berlatih wajib dijunjung tinggi.

Ketujuh, adanya kerja sama antarsekolah. Misalnya, untuk mengukur tingkat kemampuan siswa dalam penguasaan debat bahasa Inggris, English Club sebuah sekolah dapat mengundang English Club sekolah lain untuk Uji Lomba Debat atau tim bola voli sekolah A menantang tanding tim bola voli sekolah B. Melalui kegiatan ini, kemampuan siswa akan semakin terasah dan komunikasi antarpelatih juga terjaga.

Langkah terakhir, pihak sekolah wajib memfasilitasi siswanya untuk unjuk gigi di setiap perlombaan, baik di tingkat kabupaten, karesidenan, provinsi maupun nasional. Perkara kalah menang adalah nomor sekian; yang penting siswa mendapat pengalaman dan pembelajaran berharga di kancah pertandingan sehingga ke depan mereka berlatih lebih giat lagi sampai berhasil tampil sebagai juara.

Siapa tahu dari kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang tertangani dengan baik, kelak lahir ilmuwan genius seperti B.J. Habbibie atau atlet-atlet berbakat sekaliber Kris John dan Taufik Kurniawan. Semoga!

Tuswadi Koesnadi SPd, mahasiswa Teacher Training Aichi University of Education Japan (2007-2009) [Jawa Pos]

KE MANA ARAH PENDIDIKAN INDONESIA?

on 03.16

August 21, 2008
Oleh Benni Setiawan
Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional

Pendidikan Indonesia sudah kehilangan arah. Pendidikan di Indonesia dalam bentuk sekolah telah tercerabut dari akar kesejarahan sistem pendidikan nasional. Pendidikan di Indonesia sudah tidak lagi bertumpu pada nilai-nilai dasar pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang menyadarkan dan pendidikan yang memanusiakan manusia muda dan pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Pendidikan di Indonesia hanya berorientasi pasar.

Buktinya, pemerintah sekarang sedang menggalakkan pendidikan tingkat satuan pendidikan menengah atas berbasis kerja, yaitu sekolah menengah kejuruan (SMK). Pemerintah berencana akan mengubah pola pendidikan Indonesia dengan perbandingan 70% untuk SMK dan 30% untuk sekolah menengah atas (SMA). Lulusan SMA dalam pandangan pemerintah hanya menghasilkan lulusan tidak siap kerja kalau tidak mau disebut pengangguran. Maka, guna mengurangi angka pengangguran, pemerintah melakukan 'terobosan' dengan menciptakan SMK. Lulusan SMK dalam pandangan pemerintah lebih siap untuk bekerja dan mengurangi pengangguran.

Bukan fase bekerja

Pendidikan di Indonesia hanya dimaknai sebagai salah satu untuk mendapatkan pekerjaan agar tidak menjadi pengangguran (link and match). Padahal, link and match pernah dikritik Soetandyo Wignyosoebroto, Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Menurut Pak Tandyo–begitu orang menyapanya–sekolah itu bekal untuk menata hidup yang lebih baik. Bukan fase yang harus dilalui sebelum bekerja. Kalau konsepnya seperti itu, betapa sempitnya dunia pendidikan (Agus Wahyudi: 2006).

Kritikan Pak Tandyo itu cukup beralasan. Pendidikan bukan salah satu fase untuk bekerja. Pendidikan adalah proses hidup. Jadi pendidikan dalam bentuk sekolah bukan untuk bekerja. Maka dari itu, konsep pemerintah membangun SMK secara besar-besaran itu pada dasarnya menunjukkan pemerintah saat ini sudah keblinger. Salah jalur. Tidak tahu filosofi pendidikan.

Lebih dari itu, penyiapan tenaga kerja siap pakai ala SMK juga tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Indonesia bukan negara industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja siap pakai seperti Jepang. Indonesia masih menjadi negara agraris. Kalau toh kita akan menjadi negara industri, Indonesia sudah tidak lagi mempunyai sumber daya alam sebagai modal. Sumber daya alam Indonesia sudah dikeruk dan dikuras habis oleh korporasi internasional. Masyarakat Indonesia sekarang tinggal menunggu kehancuran bumi Indonesia. Hal itu karena daya isap korporasi tidak akan menyisakan sedikit pun sumber daya alam untuk masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia akan menjadi asing dan miskin di negerinya sendiri.

Tenaga kerja instan

Pembangunan sumber daya manusia melalui SMK dengan mengabaikan filosofi pendidikan hanya akan menghasilkan buruh-buruh yang keringat mereka diperas untuk memuaskan nafsu serakah korporasi internasional. Mereka hanya akan dibayar dengan upah murah. Sewaktu-waktu mereka dapat diberhentikan dengan paksa.

Apakah pemerintah sekarang sempat berpikir seperti itu? Tampaknya, pemerintah tidak memedulikan hal tersebut. Yang ada dalam otak pembuat kebijakan yang keliru itu adalah bagaimana mempersiapkan tenaga kerja instan (siap) kerja dalam waktu cepat sehingga kinerja pemerintahan dapat dinilai dengan nilai A. Pemerintah pun dapat mengklaim telah berhasil mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan karena anak-anak orang miskin sekarang sudah sekolah di SMK dan siap bekerja dengan kemampuan dan keterampilan mereka.

Pemerintah lebih bangga melihat banyak masyarakat bekerja dengan ketidakberdayaan daripada melihat masyarakatnya mandiri karena mereka memiliki ilmu dan pengalaman yang memerdekakan.

Program pendidikan siap kerja melalui SMK merupakan program prestisius miskin strategi dan makna. Ia tidak ubahnya seperti program penggemukan sapi yang marak akhir-akhir ini di beberapa daerah. Sapi yang semula kecil diberi makan sebanyak mungkin, setelah itu sapi siap jual dengan harga tinggi.

Pemerintah dengan program itu hanya ingin menyombongkan diri dengan data statistik bawah periode pemerintahan kali ini telah berhasil membuat kebijakan yang dibutuhkan masyarakat, yaitu lulus langsung kerja. Padahal sebagaimana kita ketahui, data statistik selalu saja bisa 'diperjualbelikan' sesuai dengan keinginan penguasa.

Ketidakberdayaan pemerintah

Selanjutnya, proyek prestisius SMK juga tidak dibarengi kesiapan dana yang memadai oleh pemerintah. Pemerintah hingga kini belum dapat memenuhi amanat UUD 1945 tentang penyediaan anggaran pendidikan minimal 20%. Anggaran itu baru bisa dipenuhi pada APBN 2009.

Ketidakberdayaan pemerintah menyediakan dana anggaran minimal 20% dalam APBN jelas merugikan masyarakat Indonesia. Orang tua calon peserta didik gusar, karena biaya masuk SMK lebih mahal jika dibandingkan dengan SMA. Seorang orang tua peserta didik harus membayar biaya pangkal Rp2.500.000 untuk masuk SMK di wilayah Jawa Tengah. Biaya tersebut belum termasuk SPP Juli yang sudah harus dibayar sebesar Rp200 ribu. Tentunya hanya orang-orang kaya yang dapat masuk SMK.

Program prestisius itu hanya meninggalkan kedukaan bagi wong cilik (orang miskin). Lebih dari itu, program itu telah meninggalkan filosofi pendidikan yang telah diajarkan para foundhing fathers and mothers.

Bapak dan ibu bangsa telah mengajarkan bahwa pendidikan adalah usaha menyadarkan manusia (YB Mangunwijaya), memerdekakan dengan sistem among (Ki Hajar Dewantara) dan memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani (Driyarkara). Bapak dan ibu bangsa tidak pernah mengajarkan bahwa sekolah adalah fase untuk bekerja. Sekolah atau berpendidikan bukan untuk bekerja. Pendidikan adalah bekal untuk hidup mandiri.

Pada akhirnya, program prestisius SMK sudah saatnya dikoreksi agar tidak kehilangan arah. Ketika tidak ada kemauan dari pemerintah untuk membenahi program itu, patutlah kita pertanyakan, mau ke mana pendidikan Indonesia? Wallahualam. [Media Indonesia]

RISET DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

on 03.13

January 23, 2008
Riset dan Kebijakan Pendidikan

Elin Driana

Hasil The Programme for International Student Assessment atau PISA, yang menilai kesiapan siswa berusia lima belas tahun untuk mengaplikasikan pengetahuan dan life skills yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, menempatkan capaian siswa Indonesia di lapisan bawah di semua bidang studi (membaca, matematika, dan sains).

Tidak sekadar memberi peringkat, penyelenggaraan PISA sebenarnya ditujukan untuk memberi informasi berharga bagi para pengambil kebijakan pendidikan di berbagai negara guna menentukan langkah strategis yang tepat bagi pemenuhan hak anak akan pendidikan bermutu.

Faktor sosial ekonomi

Salah satu penelitian penting yang memanfaatkan kekayaan data PISA dilakukan J Douglas Willms (2006) dari UNESCO Institute for Statistics. Selain menggunakan data PISA tahun 2000 dan 2002 dengan memfokuskan pada kemampuan membaca, Willms juga menggunakan data tahun 2001 dari The Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang bertujuan menilai kemampuan membaca siswa kelas IV SD. Willms menelaah kontribusi faktor sosial ekonomi—baik kondisi sosial ekonomi siswa, sekolah, maupun negara—terhadap kemampuan membaca. Ia menggunakan salah satu metode statistik paling mutakhir saat ini, Hierarchical Linear Modeling (HLM), yang amat tepat digunakan pada data bertingkat (multi-level data).

Dengan HLM, kontribusi kondisi sosial ekonomi sekolah maupun negara terhadap prestasi belajar siswa, di luar kondisi sosial ekonomi siswa, dapat dijelaskan. Kondisi sosial ekonomi siswa, antara lain, meliputi tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, struktur keluarga, dan ketersediaan fasilitas pendidikan di rumah, termasuk buku-buku dan komputer. Kondisi sosial ekonomi sekolah diukur oleh kualitas infrastruktur sekolah, seperti ketersediaan alat-alat penunjang proses pembelajaran, kondisi gedung sekolah, kualifikasi guru, ketersediaan komputer, dan perangkat lunak penunjang proses pembelajaran, rasio guru dan murid, waktu yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca, disiplin, dan rasa aman di sekolah, serta dukungan orangtua terhadap sekolah.

Hasil penelitian itu menegaskan kembali fakta, faktor sosial ekonomi amat dominan dalam menentukan keberhasilan siswa, meski bukan satu-satunya. Secara umum, kemampuan membaca siswa di negara-negara yang tergabung dalam The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yang berpendapatan tinggi lebih baik ketimbang di negara-negara non-OECD, yang mayoritas berpendapatan rendah, kecuali Singapura dan Hongkong. Ditunjukkan pula, kesenjangan prestasi siswa di negara-negara non-OECD lebih lebar ketimbang di negara-negara OECD. Bahkan, prestasi siswa dari keluarga berpenghasilan tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah masih tertinggal dibanding siswa dari keluarga berpenghasilan tinggi yang tinggal di negara-negara makmur.

Kondisi sosial ekonomi sekolah juga berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam membaca, di luar kontribusi faktor sosial ekonomi siswa. Secara umum, siswa akan memiliki peluang lebih besar untuk berprestasi bila sekolah mereka memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik. Sebaliknya, mereka cenderung berprestasi lebih rendah dari yang semestinya, bila sekolah memiliki kondisi sosial ekonomi lebih lemah. Dalam hal ini, kelompok yang paling dirugikan adalah siswa dari keluarga berpenghasilan rendah yang belajar di sekolah-sekolah yang memprihatinkan. Orangtua mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi memadai untuk mengompensasi rendahnya mutu pendidikan yang diterima anak-anak mereka di sekolah.

Kebijakan yang tepat

Dengan melihat lebih teliti data PISA dan PIRLS, pendapat berdasar pengetahuan umum (common sense) bahwa status sosial ekonomi siswa, sekolah, maupun negara yang bersangkutan merupakan salah satu faktor dominan dalam menentukan prestasi siswa mendapat bukti empiris yang kian kokoh. Kemampuan negara maupun sekolah dalam memberi peluang bagi siswa dari kelompok yang lemah secara sosial ekonomi untuk mendapat akses pendidikan berkualitas, merupakan kunci penting untuk meningkatkan prestasi siswa di suatu negara secara keseluruhan dan mengurangi kesenjangan mutu pendidikan.

Dalam konteks ini, kebijakan UN dan menaikkan standar kelulusan semata-mata, tidak efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan, meski sedikit banyak dapat memacu motivasi belajar siswa. Kebijakan itu tidak mengarah pada dua faktor penting yang berhubungan erat dengan kualitas pendidikan, yaitu kualitas sekolah dan kemiskinan.

Untuk peningkatan kualitas sekolah, pemenuhan amanat konstitusi agar 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, tidak dapat ditawar lagi. Status sosial ekonomi sekolah, seperti ditunjukkan dalam analisis lebih saksama terhadap PISA dan PIRLS, berperanan penting meningkatkan prestasi siswa.

Kualitas hasil pendidikan juga ditentukan kondisi sosial ekonomi siswa. Karena itu, memerangi kemiskinan menjadi faktor penting. Meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkeras untuk berpatokan pada angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS (16,6 persen) ketimbang angka kemiskinan dari Bank Dunia yang lebih spektakuler (42,6 persen), pemerintah hendaknya berani menilai apakah dengan standar BPS itu sebuah keluarga dapat memenuhi kebutuhan minimal sehari-hari di tengah kian tingginya biaya hidup. Bukti-bukti empiris penelitian kualitas pendidikan menegaskan, pemerintah tak dapat berkelit dari tanggung jawab untuk memerangi kemiskinan. Jangan biarkan lemahnya kondisi sosial ekonomi menjadi penghalang anak Indonesia mewujudkan potensi maksimal mereka.

Elin Driana Koordinator Lembaga Konsultasi Pendidikan Lazuardi Global Islamic School, Wakil Koordinator Education Forum

Sumber: Kompas

RANTAI KEKERASAN TERHADAP MURID

on 03.11

Oleh Ardhie Raditya
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Unesa.

Masih saja ada guru yang menggunakan praktik kekerasan dalam metode pendidikan di sekolah. Setelah kasus kekerasan guru terhadap siswa terjadi di Jember, Semarang, dan Situbondo, kini kekerasan itu terjadi lagi di salah satu sekolah tingkat menengah atas di Tapanuli. Bahkan, kasus kekerasan guru di sekolah tersebut sempat membuat berang DPRD setempat.

Sudah banyak pemerhati pendidikan menyerukan agar kekerasan disingkirkan dari proses belajar-mengajar di sekolah. Tidak hanya itu, pemerintah pun telah memberikan petunjuk supaya guru menjalankan profesi sebagai pendidik yang humanis dan mengedepankan nilai pedagogis.

Sispendiknas 2003, Bab XI 'Pendidik dan Tenaga Kependidikan', misalnya, pasal 40 ayat 2, dengan tegas menyatakan bahwa guru diharapkan menjalankan kewajibannya untuk: a) menciptakan suasana pendidikan yang amat menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; b) mempunyai komitmen secara profesional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan; c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukannya sesuai kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Dalam salah satu rumusan kode etik guru yang dirumuskan PGRI pada kongres ke-13 pada 1973 pun dijelaskan bahwa guru secara perorangan ataupun bersama-sama secara kontinu harus berusaha menciptakan, memelihara, serta mengembangkan suasana sekolah yang empatis serta bernuansa humanistik sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi siswa.

Mengapa kebijakan itu mendesak untuk dijadikan acuan dan diimplementasikan oleh pendidik di sekolah? Sebab, secara sosio-filosofis, sejak manusia dilahirkan di dunia, mereka dipenuhi dengan berbagai lumuran cinta, kasih-sayang sang ibu. Di sekolah, guru haruslah menjadi pengganti sang ibu yang menyayangi dan empatik terhadap perkembangan psikologis anak didiknya.

Tidak Semua

Sayang, tidak semua guru adaptif terhadap berbagai norma sosial yang telah menjadi kerangka dasar sistem pendidikan yang menghasilkan suasana kreatif dan penuh nuansa psiko-humanistik. Tentu kasus kekerasan yang terjadi di daerah bukanlah yang pertama. Hampir di setiap sekolah, kekerasan guru terhadap siswa kerap terjadi. Hanya, tak banyak yang diketahui publik.

Hasil penelitian saya di sejumlah sekolah di Madura menunjukkan bahwa 70 persen guru (informan penelitian) menganggap proses pembelajaran di sekolah perlu diikuti dengan metode kekerasan. Tujuannya agar siswa menjadi patuh dan disiplin. Penelitian ini pun semakin menguatkan hasil riset Yayasan Semai Jiwa Amini (2007) yang menunjukkan 10 persen guru melakukan kekerasan fisik sebagai bagian dari hukuman.

Sepuluh persen guru berpendapat bahwa hukuman fisik adalah cara efektif menegur siswa. Sedangkan 27,5 persen guru beranggapan bahwa kekerasan tidak akan berdampak kepada psikologis siswa. Ini menyiratkan satu makna penting bahwa masih banyak guru di sekolah yang menganggap kekerasan adalah bagian penting dalam proses pendidikan.

Menurut Hannah Arend dalam On Violence (1999), kekerasan di ranah sosial (apa pun bentuknya) disebabkan oleh tiga akar persoalan. Pertama, struktur sosial atau struktur kekuasan. Kedua, kultural. Ketiga, kapasitas personal. Ketiga dimensi itulah yang bisa menyebabkan kekerasan menjadi sebuah spiral kekerasan.

Bila salah satu dari ketiga akar kekerasan masih memancarkan praktik atau tindak kekerasan (meski dalam skala minimal), kekerasan akan terus berjalan dan selalu berulang layaknya sistem kerja spiral.

Tampaknya, kasus kekerasan yang kerap terjadi di institusi pendidikan kita tidak lepas dari spiral kekerasan yang hingga kini masih berjalan dan belum dituntaskan secara total.

Betapa tidak, sistem pendidikan di sekolah hingga kini dijalankan mirip sistem pabrik. Dalam sistem pabrik, terdapat norma struktur kekuasan yang harus dipatuhi anggotanya. Yakni, ketepatan waktu, ketaatan, dan rutinitas pekerjaan yang stagnan. Tindakan yang menyalahi ketiga hal itu akan menimbulkan suatu sanksi dari hierarki kekuasaan.

Murid yang menyimpang akan dihukum oleh guru. Guru yang tidak dapat membuat siswa adaptif terhadap struktur kekuasaan akan dihukum sang atasan (kepala sekolah). Itu artinya, mekanisme di medan pendidikan kita masih sentralistik. Ini yang mengekang kesadaran kritis dan skill dialogis para anggotanya.

Pendidikan kita pun tak bisa dilepaskan dari faktor kultur masyarakat. Sebab, budaya itu memiliki sifat superorganic (kekuatan ideologis), yakni mendistribusikan pengalaman sosial dari generasi ke generasi berikutnya.

Nah, pendidikan yang keras dan represif masih berjalan dengan masif dalam keluarga dan masyarakat. Banyak orang tua yang mendidik anak-anaknya dengan pola asuh represif. Sementara, di masyarakat banyak konflik dan persoalan sosial yang diselesaikan dengan cara kekerasan (berkelahi, membakar, hingga membunuh lawannya).

Kedua hal di atas setidaknya dapat dikurangi derajat penetrasinya jika individu atau pendidik memiliki aura humanitas, profesionalitas, serta pedagogis (altruisme sosial) yang tinggi. Dengan kata lain, the right man in the right place.

Sayang, tidak banyak orang yang memiliki kapasitas dan basis kompetensi 'prima' (pendidik yang ideal) seperti itu. Sebab, rekrutmen CPNS (entah tenaga teknis, umum, atau para pendidik hingga kini sering diwarnai sogok-menyogok dan kecurangan. [Jawa Pos]

REFORMASI PENDIDIKAN YANG TERHAMBAT

on 03.10

Oleh Utomo Dananjaya
Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta

Reformasi bidang pendidikan -yang melahirkan amandemen UUD pasal 31 dan penyusunan UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru- adalah penyesuaian yang tertunda yang dijanjikan pada 1945. Analisis akhir tahun bidang pendidikan ditulis Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta, Utomo Dananjaya .

Perubahan pertama adalah penjelasan makna pemenuhan hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, dengan wajib belajar bagi warga negara dan negara wajib membiayai. Semangat 45 mengacu pada semangat universal pendidikan untuk semua. Di sisi lain, amandemen merupakan koreksi pada pemerintah dan negara yang telah melalaikan tanggung jawab membiayai wajib belajar dan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.

Hanya fungsi pendidikan yang mendapat pengarusutamaan dengan negara memprioritaskan anggaran pendidikan, bukan keamanan pertahanan, bukan perekonomian nasional, dan bukan sosial kesejahteraan atau pemberantasan kemiskinan. Walau keputusan amandemen tentang biaya tersebut diambil melalui voting, setelah menjadi keputusan, jadilah ia pedoman penyelenggaraan bernegara dalam bidang pendidikan. Presiden dan wakil presiden bersumpah untuk berpegang teguh pada UUD dan melaksanakan UU serta segala peraturannya secara selurus-lurusnya, tidak terkecuali bidang pendidikan.

UU Sisdiknas yang disusun segera setelah UUD disahkan pada 2003, pasal 34 tentang pendanaan memberi tafsir tentang 20%, dengan menegaskan tidak termasuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyelenggarakan wajib belajar minimal tingkat dasar tanpa memungut biaya.

Penyimpangan dari Konstitusi

Presiden Megawati adalah presiden pertama yang harus menjalankan amandemen anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD. Perilaku dan komitmen yang keliru diulangi sehingga penyusunan UU APBN Tahun 2005 diadukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji dengan UUD. Keputusannya, UU APBN 2005, khusus menyangkut anggaran pendidikan, dinyatakan menyimpang dari UUD 1945. Pemerintahan SBY hasil pilihan langsung membuat UU APBN yang juga menyimpang dari UUD karena hanya mencapai 9 % dari APBN. Rakyat kembali mengadu uji UU APBN, Mahkamah Konstitusi bergeming memutuskan UU APBN, khusus untuk anggaran pendidikan, menyimpang dari UUD 1945. Demikian tiga kali berturut-turut UU APBN 2006, 2007, 2008 dinyatakan menyimpang. (Interupsi tahun 2008, MK membuat putusan, memasukkan gaji guru ke dalam persentase 20%).

Penyimpangan itu membenarkan hasil penelitian UNESCO 1995 bahwa rendahnya keberhasilan pendidikan di negara-negara berkembang disebabkan lemahnya komitmen pimpinan nasional.

Keberanian menyimpang dari UUD itu mengherankan karena sumpah presiden dan wakil presiden berpegang teguh pada konstitusi menjadi jargon semua pemerintah. Rupanya, pendapat yang kalah di MPR dihidupkan kembali ketika yang bersangkutan (JK, utusan daerah, dipilih sebagai wakil presiden).

Keberanian tersebut mengherankan karena semangat amandemen pasal 31 (2 dan 4) jelas-jelas bersifat koreksi terhadap lemahnya komitmen negara terhadap pendidikan nasional.

Penyimpangan Konsepsi Pendidikan

UU Sisdiknas No 20/2005 memilih paradigma yang sesuai dengan semangat kebebasan. Pengertian pendidikan dikoreksi, tujuan pendidikan diluruskan, dan prinsip penyelenggaraan pendidikan diperjelas. Terjadi perubahan ideologi, dari pendidikan dominasi guru berubah menjadi pembelajaran berpusat siswa. Fungsi guru berubah dari mengajar, mendidik, membimbng, dan melatih menjadi hanya mewujudkan suasana belajar dan mewujudkan proses pembelajaran agar siswa aktif untuk mengembangkan potensinya sendiri. Peserta didik dihargai sebagai pribadi yang unik, setiap pribadi berbeda satu dengan yang lain. Proses pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif. Bersifat membudayakan dan memberdayakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Seperti tidak memahami perubahan tersebut, Renstra Pendidikan Nasional meluncurkan ide diskriminatif. Sekolah jalur formal dibelah, yang mampu disebut jalur mandiri dan yang tidak mampu disebut jalur normal. Kebijakan nekat itu surut secara tersurat, tetapi terus berkembang secara tersirat dan operasional.

Konsep standardisasi dalam produksi ekonomi menyubversi pendidikan dengan standardisasi isi dan kompetensi kelulusan. Ukuran keberhasilan yang oleh UU Sisdiknas dikonsepkan sebagai penilaian proses, kembali ke konsep konvensional dengan ujian nasional. Hanya di Indonesia rakyat mengadukan hak hukumnya ke pengadilan negeri tentang fakta pelanggaran hak anak. Dan rakyat dibenarkan oleh pengadilan sampai di Mahkamah Agung. (bersambung) [Jawa Pos]

MENUJU PENDIDIKAN MASA DEPAN

on 02.48

Oleh : Pujianto

Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain memlalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagaian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu yang cukup menggembirakan, namun Sebagian lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.

Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.

Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.

Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akunfabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya yang sekarang sedang dikembangkan adalah reorientasi penyelenggaraan pendidikan, melalui manajemen sekolah (School Based Management).

Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

1. Pengertian

Manajemen berbasis sekolah atau School Based Management dapat didefinisikan dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengembilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.

2. Esensi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang-dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.

Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, karyawan, siswa,orang tua, tokoh masyarakat) dkjorong untuk terlibatsecara langsung dalam proses pengambilankeputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.

Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika seseorang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan merasa memiliki keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula dedikasinya.

Dengan pola MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga mmiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan dengan sekolah. Di sinilah letak ciri khas MBS.

Berdasarkan konsep dasar yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penyesuaian din dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan- masa depan yang lebih bernuansa otonomi yang demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen dari yang lama menuju yang baru tersebut, dewasa ini secara konseptual maupun praktik tertera dalam MBS.

Perubahan dimensi pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru menuju MBS'dapat digambarkan sebagai berikut.

Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru menuju MBS dapat digambarkan sebagai berikut

Pola lama


Menuju